Dhea selalu terburu- buru berangkat kerja mendahului yang lain. Kantornya paling jauh, butuh lima belas menit berkendara. Beda dengan Viola dan Megan yang kantornya hanya beberapa menit berjalan kaki, mereka berdua masih bisa bersantai sejenak setelah Dhea pergi dengan membanting pintu. Megan membuka- buka koran bekas yang disambarnya dari toko bakery di bawah, membuka- buka halaman lowongan dan mematut- matut posisi dengan persyaratan.
“ Percuma lah kau baca sekarang. Itu sudah koran satu minggu Gan. Kau sudah terlambat. Enak di internet kalau mau cari lowongan baru.” Kata Viola.
“ Lagi mau irit kuota.” Megan bergumam lirih. Viola langsung terdiam, sendu dan sedih karena sangat mengerti perasaan itu. “ Kau tak mau coba cari kerjaan lowongan lain?” Giliran Megan bertanya.
“ Serba salah, aku sudah jual empat unit. Komisinya besar Gan, takutnya kalau aku pindah kerja komisiku malah tidak cair. Lebih baik aku bersusah- susah dulu satu dua tahun sambil hutang sama Dhea, yang penting komisiku aman. Nanti setelah komisi pertama cair, baru bayar dia.” Viola terkekeh senang dengan ide ini.
“ Buset. Berarti dua tahun kau baru bayar hutang Dhea?”
“ Eh biar saja, kita ini sudah dibohongi dia Gan. Kita setengah mati cari kerja, dia begitu injak kaki di Jakarta sudah dikasih mobil dan kerjaan. Dan mana itu yang dia bilang macam artis Korea? Badut lokal saja kita belum pernah lihat. Mana itu yang dia bilang lelaki lebih banyak dari perempuan? Di kantorku hampir semuanya perempuan. Kantor kau juga sama kan? Mana itu yang dia bilang lelaki Jakarta romantis? Aku lari- larian kejar lift saja gak ada yang mau bantu tahan pintunya. Pura- pura buta semua. Cem mana (bagaimana) itu Gan?” Alis Viola membentuk huruf v bagaikan angry bird saking jengkelnya. Tangannya mengibas- ngibas ke angkasa setiap kali berkata ‘mana’.
Megan tertawa terbahak- bahak, dan membuat huruf v di alis Viola terlihat semakin runcing.
“ Kenapa kau tertawa? Bocor halus (gila) kau?” Tanya Viola.
“ Lagak kau Ola, macam kau tidak pernah bohong sama kita saja. Kau sama saja kalau sedang ada maunya. Udah, ayuk berangkat kerja. Nanti sore kita beli token listrik. Mau habis itu listriknya.”
Mereka berjalan keluar apartemen, dan seperti biasa, lift selalu tersendat- sendat di pagi hari. Setiap lantai selalu berhenti, di seluruh lantai ada yang menunggu lift. Butuh delapan belas kali berhenti sebelum mereka berjalan keluar dari lift, dan langsung di sambut oleh matahari yang bersinar ceria, menembus panel- panel kaca yang mengelilingi lobi utama gedung apartemen. Cahaya putihnya masih terasa hangat membelai kulit, dan wajah- wajah orang yang berlalu lalang di pintu lobi masih segar bercahaya. Semuanya adalah para pejuang yang sedang bertarung dengan kerasnya roda kehidupan masing- masing yang tak pernah berhenti berputar, seiring dengan berjalannya waktu yang tak pernah mau menunggu.
Tepat di seberang pintu lobi terlihat deretan ruko yang menyediakan jasa dan kebutuhan penghuni apartemen. Dari laundry hingga makanan, dari mini market hingga jasa pengiriman. Tempat kerja Megan hanya dua blok dari pintu lobi. Sedangkan kantor Viola berada agak jauh di depan, dua blok dari tempat Megan, di dekat gerbang utama kompleks raksasa ini. Mereka baru saja membelok melalui blok pertama, ketika melihat ada keributan di dekat gardu karcis parkir di gerbang keluar masuk.
Sebuah mobil putih berhenti, moncong mobil putih itu dipalang oleh sebuah mobil hitam yang datang dari arah pintu masuk. Mobil hitam itu jelas hendak berbelok menyeberangi jalan, moncong mobil telah masuk hampir setengah badan, namun sepertinya di sundul oleh mobil putih. Kedua pengendara itu turun dan saling beradu argumen, yang satu lelaki, dan satunya lagi….Dhea.
Viola dan Megan tercekat. “ Itu Dhea, dia nabrak.” Viola berteriak dan mereka langsung berlari mendekati kedua mobil itu. Ketika mereka mendekat, Viola merasakan lengannya ditarik dengan keras oleh Megan. Viola memutar kepala dan terkejut melihat wajah Megan yang seperti sedang melihat hantu. Mata Megan mendelik, napasnya tertahan, dan mulutnya seperti hendak berteriak namun suaranya tertahan. Hanya terdengar suara tenggorokannya yang bergetar. Megan gentar.
Viola berhenti berlari, dan bingung. Dia tidak menemukan alasan kegentaran Megan. “ Kenapa kau Gan?” Tanya Viola.
“ Gawat La. Lihat logo mobil hitam itu.” Ada getaran di dalam suara Megan, bagaikan penyanyi seriosa amatir yang sedang berlatih di kamar mandi.
Viola memutar kepala dan melihat ke arah yang ditunjuk oleh Megan. Tenggorokan Viola tercekat. Terasa kering bagaikan menelan sebungkus micin. Mobil hitam yang mengkilap dengan bentuk kap mesin yang seperti traktor, bagian ujung kap mesinnya mencuat sebuah lingkaran berisi bintang berkaki tiga, berkilau bagai emas putih. Viola menelan ludah yang terasa bagaikan jamu pahit, sebuah mercedez. Namun warna mobil itu tidak lagi hitam mulus. Moncong mobil Dhea telah mengecup mesra pintu kiri mobil hitam itu, meninggalkan bercak putih sekaligus lesung pipit di sana.