“ Aman sepertinya.” Megan berkata sambil celingak celinguk di depan pintu masuk kompleks. Tidak terlihat mobil mercedez hitam sejauh mata memandang. Kantor Viola sudah sangat dekat, hanya sejarak panjang lapangan bola basket.
“ Iya, aman. Udah buruan kau masuk kerja sana, bisa terlambat ini.” Viola setengah berlari menuju ke kantornya, Megan juga berlalu menuju kantornya.
Pagi yang di awali dengan kekacauan itu akhirnya berakhir melegakan, bisa dibilang mereka berhasil mengatasi keadaan. Kalau saja tadi sampai gagal, satu pintu mobil mercedez itu cukup untuk menjadikan mereka sebagai gelandangan.
Viola berjalan masuk ke dalam kantornya yang juga merupakan kantor pemasaran untuk keseluruhan proyek di dalam kompleks itu. Langit- langit lobi yang tinggi, dengan panel kaca yang bening sama sekali tidak menghalangi sinar matahari yang masuk. Ruangan kantor yang tiga lantai dan menyatu dengan lobi utama itu, terlihat berlapis hingga lantai tiga. Menjadikan seluruh ruangan lobi itu terang benderang dan terasa lapang. Dia berjalan ke bagian kiri ruangan yang di susun dengan sepuluh meja bundar, persis seperti suasana cafe, dengan empat sofa mengelilingi setiap meja. Di sanalah biasanya tenaga marketing berkumpul dan bergosip ria. Viola tidak sadar, jauh di atas, dari lantai tiga, ada yang memperhatikan dia.
Di dalam ruangan Direktur utama, yang berpartisi kaca bening, dapat melihat langsung ke lobi utama di lantai dasar. Hanya ada dua orang di dalam ruangan itu. Sebuah meja berbentuk seperempat lingkaran terletak di ujung ruangan, hitam mengkilap. Di atas meja itu terdapat papan nama dengan tulisan berwarna emas, Ir. Rachmat, MBA. Di bawahnya tertera jabatan Presiden Direktur. Di bagian yang mendekati pintu masuk ruangan tersedia lima buah sofa besar berwarna gelap, mengelilingi sebuah meja pendek. Permadani berwarna coklat caramel melapisi seluruh ruangan itu, terasa memanjakan kaki saat melangkah, meredam seluruh suara yang mungkin timbul dari alas kaki mereka.
Seorang pria yang rambutnya telah memutih, berkacamata bulat seperti Harry Potter, duduk di atas salah satu sofa tersebut. Dia adalah orang yang namanya tertera di atas meja hitam tadi. Pak Rachmat memperhatikan seorang pemuda yang masih berdiri di samping panel kaca, dari arah kepalanya dapat terlihat bahwa pemuda itu sedang memperhatikan lantai dasar di lobi utama.
“ Sekarang kalau pagi selalu begini. Seramai- ramainya kantor pemasaran properti tidak pernah bisa sampai seperti pasar ikan. Meskipun akan sangat menyenangkan jika itu terjadi, seperti sepuluh tahun yang lampau.” Pak Rachmat terkekeh. Dia telah berkecimpung di dunia ini hampir tiga puluh tahun. Telah merasakan timbul dan tanggelamnya dunia properti. Masa- masa ketika harga asal sebut akan ada yang datang dan membeli. Masa- masa ketika tanah masih kosong tanpa patok namun pemesan sudah berbaris seperti pagar bambu. Masa- masa keemasan itu telah berlalu, jaman berubah. Sekarang seluruh perusahaan properti sibuk mencari tambahan modal untuk menyelesaikan proyek yang selalu tertunda penyelesaiannya. Aset tanah masih sangat banyak, grup perusahaan raksasa yang dipimpinnya ini masih memiliki ratusan juta hektar tanah kosong yang siap untuk dibangun. Terbentang dari sabang hingga merauke. Arsitek muda jaman sekarang memiliki pemikiran dan desain- desain kota masa depan yang sangat menakjubkan. Yang akan membuat kota Jakarta terlihat bagaikan WC umum. Namun, untuk membangun kota masa depan yang cantik tidak cukup hanya dengan keinginan dan pikiran yang kreatif. Lebih daripada itu, dibutuhkan suntikan dana yang revolusioner.
Tidak banyak ruang gerak finansial yang dimiliki oleh Pak Rachmat, seluruh aset tanah yang ada sudah lama dijadikan jaminan ke bank. Menyerap dana publik dari pasar modal sudah lama dilakukan, bahkan dananya sudah berulang kali dikembangkan menjadi properti yang sebagian besar sudah terjual. Tetap saja dana mereka masih jauh dari cukup. Namun mimpi itu masih menggantung di sana, mimpi itu masih menyala, seperti api lilin yang bergoyang- goyang tertiup angin. Sulit untuk di percaya alangkah gilanya dunia jaman sekarang. Keputusan untuk mendapatkan tambahan dana 32 Trilyun itu ada di tangan pemuda yang layak menjadi cucunya ini. Yang kelihatannya begitu tenang saat membicarakan angka yang sanggup untuk membangun selusin gedung semewah menara BNI 46. Atau sekitar seratus apartemen kelas super premium, yang biasanya hanya mampu dibeli oleh kelas CEO. Beserta dengan seluruh fasilitas di dalam gedung, lengkap dengan perabotan kelas satu. Lengkap dengan gedung parkirnya.
Pak Rachmat kembali menarik napas panjang. Anak muda yang sebentar lagi akan menjadi pemegang saham kedua terbesar di grup perusahaan dengan nilai buku hampir 100 trilyun ini. Yang sebentar lagi akan mempunyai hak untuk membaca seluruh lembar kertas di grup perusahaan ini, melangkah ke seluruh ruangan, dan yang pertanyaannya wajib untuk dijawab oleh seluruh karyawan perusahaan ini. Termasuk dia sendiri. Apa boleh buat. Mereka, seluruh petinggi perusahaan ini tak berdaya. Di mana lagi mereka bisa mencari tambahan dana sebesar itu, yang sanggup sekaligus menampung seluruh saham baru yang akan di terbitkan?
“ Pak Rachmat, proyek yang di kompleks ini sudah berapa persen yang terjual?” Ryan bertanya.
“ Tujuh puluh dua persen.”
“ Termasuk dengan yang masih dalam tahap pembangunan?”
“ Ya, benar.” Pak Rachmat mengamini.
“ Lumayan. Masih berapa lama sampai keseluruhan proyek ini selesai seratus persen?”
“ Jika semuanya sesuai dengan jadwal, dua tahun delapan bulan.”
“ Itu sudah termasuk dengan menunggu persetujuan OJK dan BEI untuk right isuue ? “ Ryan kembali bertanya.
“ Ya, benar. Dengan prediksi dua bulan sampai right issue direstui pihak berwenang. Bisa lebih lama sedikit, atau lebih cepat sedikit. Sebentar, aku akan panggil bagian keuangan dan development untuk menjabarkan semuanya secara rinci kepada kamu. Dia akan mempresentasikan semuanya kapada kamu.” Pak Rachmat bangkit dan berjalan ke mejanya, namun segera ditahan oleh Ryan.
“ Tak perlu sekarang Pak Rachmat. Kita bisa lakukan itu lain hari. Aku masih akan tinggal di sini sampai ada persetujuan dari lembaga keuangan, tapi rincian dari divisi keuangan dan development itu bisa dikirimkan ke Tokyo. Ayahku pasti ingin membaca laporannya.”
“ Ah, betul. Kamu baru tiba dari Tokyo, penerbangan 9 jam tanpa istirahat. Tentunya kamu lebih berminat untuk istirahat sekarang ini. Maaf, otakku yang mulai dimakan umur ini kurang peka. Mengenai seluruh dokumen itu kamu tak perlu cemas, hari ini juga akan kami kirim. Dan mengenai tempat tinggalmu, aku sudah instruksikan untuk menyiapkan segalanya. Tapi jika ada sesuatu yang kamu butuhkan yang belum tersedia, kamu tinggal bilang. Aku akan meminta Sandra untuk mengantar kamu melihat tempat tinggalmu di sini.” Kata Pak Rachmat.
“ Sandra?” Tanya Ryan, penuh rasa ingin tahu.
“ Ya, dia adalah Manajer interior design di perusahaan ini. Aku harus selalu mengingatkan diriku sendiri, tidak lama lagi aku harus mengatakan perusahaan ini sebagai perusahaan kita di depanmu Ryan.”
“ Anda boleh mengatakannya sekarang Pak Rachmat. Aku hanya menunggu persetujuan lembaga keuangan dan pemilik saham yang lain. Pihak kami berharap takkan ada masalah mengenai itu.”