Apartemen seribu warna

rudy
Chapter #5

Bab 5 Pelamar

 

Dhea bernapas lega. Terbukti, dia telah membuat keputusan yang sangat tepat dengan membawa serta kedua sahabatnya ke Jakarta. Meskipun kedua sahabatnya ini kepalanya agak oleng dan otaknya agak geser. Namun Dhea tahu, mereka berdua sangat setia kawan dan mampu menutupi kekurangan Dhea. Maka seribu satu cara dipikirkan oleh Dhea untuk membuat kedua sahabatnya tertarik untuk merantau bersamanya. Terbukti, itu keputusan yang tepat. Meskipun sekarang setiap kali kehabisan uang mereka akan menyalahkan Dhea.

 

Dhea tertawa geli ketika mengingat itu. Biar saja. Dia tahu, kedua temannya sama sekali tidak bodoh, mereka pasti akan dapat melalui masa- masa awal yang sulit ini dengan cara mereka masing- masing.

 

Setelah lima belas menit di jalanan yang padat, dia tiba di sebuah gedung perkantoran. Baru sekarang dia sempat memperhatikan moncong mobilnya yang tadi menyundul mercedez. Hanya ada sedikit goresan hitam di moncong mobilnya. Dia tertawa geli seorang sendiri ketika mengingat Viola yang pasang aksi seakan yang salah adalah pengendara mercedez. Ahhh, kedua sahabatnya itu memang terlalu berharga untuk di lepas. Mereka berdua telah menyelamatkan dia dari ganti rugi yang sudah pasti akan menyakitkan kepala sekaligus kantongnya. Dhea belum tahu, nun jauh di sana, salah satu temannya itu sedang memohon- mohon kepada yang di atas agar di karuniai ilmu menghilang.

 

Dhea masuk ke dalam gedung kantor, dan berjalan naik ke dalam ruangannya. Sebuah ruangan kecil yang hanya ada sebuah meja seukuran meja belajar dengan seperangkat komputer di atasnya. Dia mulai menyalakan komputer dan siap untuk memulai kegiatannya. Yang sebenarnya mulai terasa membosankan. Data, data, dan data. Itu saja terus- terusan. Input data, cek data, bikin laporan. 

 

Punggung belum sempat bersandar, komputer belum menyala, namun pesawat telepon di atas meja telah berkedip hijau. Dhea tahu, sebentar lagi akan ada sambungan yang masuk. Dan benar, pesawat telepon itu menyalak.

 

“ Dhea. Kamu ke ruanganku sebentar.” Suara di seberang sana bahkan tidak memberi dia kesempatan untuk mengucapkan kata pembuka. Dan langsung ditutup tanpa menunggu persetujuannya. Pamannya selalu langsung tahu bahwa dia telah tiba di kantor. Entah bagaimana caranya.

 

Dhea menghela napas. Apakah di Jakarta ini memang orang- orangnya seperti ini? Macam akan kiamat jika agak lama sedetik. Urat kaki belum meregang, namun dia sudah harus kembali menaiki tangga ke ruang pamannya.

Lihat selengkapnya