Megan setengah berlari melewati meja resepsionis di bagian depan kantornya. Dia sudah terlambat sepuluh menit. Kantornya yang merupakan satu ruko berlantai tiga itu, hanya kelihatannya saja kantor kecil. Namun bisnisnya teramat sangat besar. Kecil dari segi jumlah karyawan, namun gemuk dari sisi penghasilan. Bukan hanya gemuk, perusahaan ini obesitas. Megan tahu betul mengenai itu. Maka dia sudi berjuang untuk menjadi karyawan tetap di perusahaan ini. Tepat satu minggu lagi, dia telah memenuhi tiga bulan masa percobaan, dia tidak ingin membuat kesalahan konyol yang berisiko.
Jika Anda berkendara di sepanjang jalan tol, dan melihat tiang- tiang di pinggir jalan yang memasang reklame raksasa dari berbagai perusahaan raksasa, nah di situlah peran perusahaan tempat kerja Megan ini. Perusahaan ini bekerja sama dengan pemilik lahan di sepanjang jalan, dan mendirikan tiang- tiang reklame itu untuk di sewakan pertahun dengan nilai sangat tinggi. Terkadang mereka sekaligus membeli tanahnya pada saat menemukan yang harganya miring. Sehari- harinya perusahaan ini memang tidak membutuhkan banyak karyawan. Total hanya ada dua puluh tiga orang yang bekerja di perusahaan ini. Pekerjaan yang paling banyak makan waktu adalah pada saat berurusan dengan notaris dan berbagai kantor pemda. Semuanya membutuhkan tumpukan dokumen setebal kitab suci. Pemakaian kertas di kantor ini mungkin melebihi tempat foto copy di dalam kampus.
“ Megan, kamana saja kamu? Masa tinggal di apartemen sebelah saja bisa terlambat datang ke kantor?”
Sebuah teguran langsung terdengar begitu Megan tiba di lantai tiga, bahkan sebelum dia berjalan sampai ke mejanya. Bu Rose dengan wajah dingin menatapnya sambil berkacak pinggang. Dia adalah supervisor Megan, yang bertanggung jawab untuk bagian administrasi. Kacamatanya yang tebal berkilau memantulkan cahaya putih dari lampu pijar di dalam ruangan, hidungnya bengkok seperti paruh burung hantu. Hanya dengan melihat penampilannya, siapapun akan sadar bahwa dia bukanlah type orang yang akan menerima ajakan untuk ngerumpi di warung kopi. Bu Rose adalah tipe orang yang akan membacakan ayat- ayat injil yang Anda langgar pada saat menginjak semut, dan akan menghabiskan satu jam untuk menceritakan panasnya api neraka seperti yang pernah tamasya ke sana. Bukan orang jahat, namun seringkali terlalu berlebihan.
“ Maaf Bu. Teman Megan tadi tabrakan di depan pintu keluar, jadi terpaksa bantu nengahin bentar.” Kata Megan, harap- harap cemas bahwa alasan itu cukup bisa diterima.
Bu Rose menggunakan telunjuknya untuk membetulkan posisi kacamatanya, alis matanya bertaut sambil kepalanya sedikit menggeleng. Seperti orang tua yang terusik anak nakalnya.
“ Nih, kamu bawa ini ke Dinas Tata Ruang. Cari Pak Anwar, dan hari ini harus dapat persetujuan dari Dinas. Ingat, sekarang juga langsung berangkat. Kalau agak siang sudah keburu ngantri panjang.” Bu Rose mengangsurkan satu bundel map yang sangat tebal, melebihi tebalnya proposal yang biasa dibuat oleh Megan. Entah ada berapa banyak proposal di dalamnya.
“ Bu, aku belum pernah ke sana. Juga tidak punya kendaraan ke sana.” Megan berkata dengan bingung, setahu dia bukan kewajibannya untuk mengurus sebuah proposal hingga selesai.
“ Memang tujuannya agar kamu belajar. Sudah sana cepat pergi. Nanti sore baru kamu tanda tangan surat pengangkatan karyawan tetap. Seharusnya tadi pagi, tapi salah sendiri terlambat.”
Mata Megan terbelalak mendengarnya. Meski Bu Rose berkata dengan nada ketus, namun terdengar bagaikan alunan musik di telinga Megan. Dia tersenyum lebar dan menyambut dengan semangat, “ siaappp Komandan.” Tanpa menunggu lagi dia langsung meluncur turun lagi. Pantatnya bahkan belum merasakan duduk di bangku, namun tidak ada rasa kelelahan. Semangatnya terbakar. Karyawan tetap, berarti akan ada penyesuaian gaji. Ahaai, mungkin bulan depan daftar hutangnya kepada Dhea sudah bisa memendek.
Megan berlari, namun masih bingung, dinas Tata Kota itu di mana. Dan harus naik apa? Dia diberi tugas yang seperti ada teka teki untuk di pecahkan. Megan mengerti maksud Bu Rose mengenai kata belajar. Itu berarti Megan harus berusaha sendiri. Perusahaan memberikan misi, dan adalah tugas dia untuk menyelesaikan misi. Jika dalam segala hal Megan harus dituntun, perusahaan akan menganggapnya tak berguna. Seperti bayi yang kemana- mana harus digendong, malah menambah beban.
Megan sudah keluar dari pintu kantor, satu- satunya ide di kepalanya adalah mencari taksi online yang rutenya sudah jelas. Dia masih berdiri di depan kantor, jari tangannya bergerak lincah menggeser layar ponsel, mencari letak tujuannya dan mulai memanggil layanan taksi online. Hanya dalam hitungan detik dia menemukan mobil yang akan membawa dia ke tujuan. Dengan takjub dia melihat taksi online itu jaraknya hanya satu menit dari tempat berdirinya. Luar biasa, seolah langit juga membantu memperlancar tugasnya.
Tanpa melihat dia langsung melompat naik ke bangku belakang begitu mobilnya tiba di depannya.
“ Selamat Pagi, ke kantor sudin tata kota yah dek.” Suara pengendara itu terdengar menyapa dengan lembut dan sopan, dia mengenakan kemeja yang rapi layaknya orang yang hendak masuk ke gedung perkantoran.