Berbeda dengan lift lain yang penuh dengan tombol nomor lantai yang berderet- deret, lift yang satu ini hanya ada dua tombol. Naik atau turun. Itu saja. Kalau naik sudah pasti ke lantai 33, turun sudah pasti langsung lobi. Panel bermotif kayu yang mengelilingi lift tak mampu menghangatkan hati Viola. Gerakan lift yang melawan gravitasi membuat kepalanya pusing. Ini untuk pertama kalinya Viola tahu, ternyata ada sebuah mabuk yang unik, mabuk lift.
Ding !!
Sebuah denting yang berbunyi garing saat lift tiba di tujuan membuat seluruh tubuhnya lemas tak bertenaga. Dia terpuruk, wajahnya bagai di amplas hingga tak ada lagi kulit yang tersisa. Rasa malu membuatnya ingin menekuk leher dan menyembunyikan wajah di bawah lipatan tangan.
‘Ya kan, Bu Manajer?’
Kata- kata sindiran itu mengiang- ngiang di kupingnya. Bergema di dalam kepala dan mantul di dinding tengkorak. Ya ampun, bagaimana mungkin dia bisa mendapatkan ide setolol itu. Bagaimana jika nanti dia menuntut ganti rugi atas kerusakan pintu mobilnya. Bagaimana jika seluruh komisi Viola dianggap hangus untuk mengganti pintu mobil dia ? Orang yang tinggal di lantai ini jelas mampu melakukan semua yang merupakan mimpi buruk bagi Viola.
Tidak perlu bersusah payah mencari pintu. Langkah pertama keluar dari pintu lift dan melihat ke arah kanan, sebuah pintu ganda berwarna coklat langsung terlihat. Hanya ada satu pintu selain pintu lift, dan tidak ada lorong maupun koridor. Keluar dari pintu lift itu hanya terlihat sebuah ruangan kosong berbentuk kotak, dengan sebuah jambangan bunga di letakkan di samping pintu ganda sebagai penghias. Dan sebuah lukisan aneh yang bagaikan ikan berwajah burung tergantung di dinding tepat di depan pintu lift. Sebuah jendela kaca terletak di sebelah kiri, tempat masuknya cahaya matahari yang membuat ruangan lift itu terang benderang.
Jarak ke pintu ganda itu hanya sekitar sepuluh langkah, namun baru lima langkah napas Viola telah tersengal- sengal. Oksigen seperti habis terhisap oleh pintu ganda berwarna coklat yang sekarang sedang tersenyum mengejeknya. Sebuah kotak kecil berwarna putih dengan gambar bel terletak di samping pintu. Terlihat bagaikan lonceng kiamat.
‘ Siang, Pak Ryan. Viola minta maaf, tadi pagi itu Viola masih ngantuk jadi ngelantur.’ Tidak, mana ada orang ngantuk yang suaranya sekeras dia?
‘ Ini makan siangnya. Dadah.’ Juga tidak bisa, akan dianggap tidak punya sopan santun jika bersikap seperti itu.
‘ Siang bro, yang tadi pagi itu lupain aja yah. Cuma lagi tes prank baru.’ Tidak, bisa langsung di pecat.
‘ Siang Bos, itu, mengenai pintu mobil, sebenarnya aku tidak kenal pemilik mobil putih itu.’ Tidak, itu bahkan lebih tak masuk akal di bandingkan ayam bertelur emas.
‘ Siang Pak Ryan, ini pesanan Bapak aku letakkan di meja yah, sampai jumpa.’ Berpura- pura seolah tidak pernah terjadi apapun? Juga tak bisa. Kulit wajahnya tidak setebal politikus.
‘ Nah kebetulan ketemu lagi, mana ganti rugi untuk mobil temanku?’ Meneruskan sandiwara tadi pagi? Mustahil. Seperti ingin menghancurkan batu dengan menggunakan telur.
Viola berjalan mondar mandir di antara pintu lift dengan pintu apartemen dengan mulut komat kamit, mencoba berlatih berbagai macam skenario yang mungkin dapat meloloskan dia dari situasi sulit. Jika sekarang minta maaf, jangan- jangan malah akan mengingatkan akan pintu mobilnya. Viola tertekan, matanya kadang melotot, kadang bibirnya meringis, kakinya terus bergerak mondar mandir di sepanjang ruang kecil itu.