Paku bumi masih berdentum di kejauhan, terdengar seperti irama detak jantung yang sedang bermalasan- malasan. Senja telah di penghujung waktu, hanya tersisa sedikit cahaya sebelum berganti malam. Tiga orang dara sedang duduk di kursi plastik sesuai dengan nama masing- masing, mereka duduk berdekatan namun pikiran mereka berjauhan.
“ Jadi ternyata dia itu atasan aku. Mereka yang di kantor bilang, Ayahnya itu adalah investor yang akan beli perusahaan ini. Dan sekarang tiap kali lihat aku, di wajahku itu pasti ada gambar pintu mobil dia yang rusak. Cilaka lah aku sekarang. Komisi aku sekarang ada di ujung tanduk. Hidup aku sekarang dalam bahaya. Setiap saat dia tak senang hati, aku akan di tindas. Cem mana ini kawan?” Viola berkeluh kesah kepada ke dua temannya. Namun kata- katanya hanya seperti seember air yang dituang ke dalam lautan, hilang tanpa makna. Kedua temannya sedang tenggelam dalam pikiran mereka masing- masing. Kata- kata Viola yang sedang berkeluh kesah di tanggapi oleh Dhea dan Megan dengan tatapan mata yang kosong sambil tersenyum.
“ Dia di tower B, baik. Aku tower C, cantik. Seperti sudah diatur, dia baik dan aku cantik. Bisa ketemu yang tetanggaan, dan bisa pas aku lupa bawa dompet. Nanti dia nelpon nggak yah? Atau mungkin aku harus ngutang lebih banyak biar dia nyariin terus?” Megan tenggelam dalam lamunannya sendiri sambil senyum- senyum. Bagi dia hari yang baru selesai terasa indah bagaikan mimpi. Pertama kali diajak kenalan, meskipun dengan alasan yang aneh, dan diangkat menjadi karyawan tetap padahal dia belum genap tiga bulan bekerja. Megan merasa sedang duduk di tengah kebun bunga dengan kicauan burung yang menenangkan jiwa. Burung itu bertengger di sebelahnya dan tidak berhenti berkicau, namun Megan tidak terganggu meski dia tidak mengerti apa yang sedang dikicaukan burung itu.
“ Adrian namanya. Anak dari awan. Cocok sekali. Ketika senyum wajahnya bercahaya seperti malaikat, tatapan matanya seperti sorot lampu depan yang menuntun di saat kegelapan menjelang. Masalah pajak adalah masalah yang sangat ruwet, mungkin kita butuh untuk mengadakan meeting di cafe, kan bosan di dalam kantor terus- terusan. Atau meeting sambil makan malam. Kan lapar kalau kerja melulu.” Dhea senyum- senyum sendiri, angannya melayang menembus plafon apartemen dan terbang jauh ke atas awan. Dia melihat dirinya sendiri sedang berbincang serius dengan si konsultan pajak yang terus- terusan tersenyum sambil membalas pandangan matanya. Hanya ada awan di sekeliling mereka, angin yang bertiup sepoi membawakan dendang lagu cinta yang membuat pembicaraan mengenai perpajakan perlahan berubah menjadi perasaan. Tidak ada batas waktu yang mencukupi kala berbincang mengenai perasaan, juga tidak ada angka yang dapat memastikan bahwa seluruh perasaan sudah dihitung di atas kertas. Bahkan tidak membutuhkan berkata- kata untuk membicarakan mengenai perasaan. Pikiran Dhea menggantung di atas awan, suara Viola hanya seperti deru angin yang lewat di telinganya.
“ Hei, klen ini dengar tidak ?” Viola akhirnya berteriak kesal. Dia berdiri dan memperhatikan kedua kawannya yang diam seperti ikan tidur. Matanya terbuka, tapi kesadaran mereka seperti hilang. Dia makin kesal ketika melihat tidak satupun dari mereka berdua yang mendusin. Dengan jari tangannya dia menohok kepala mereka berdua hingga tersentak kebelakang.
“ Apaan sih Ola? Kasar amat.” Protes Dhea.
“ Iya, kenapa sih kau marah- marah melulu? Santai saja kawan, kasih kita duduk tenang dulu. Capek ini setelah kerja seharian.” Kata Megan.
“ Klen hanya kerja urusan kantor saja capek? Aku kerja urusan kantor sekaligus juga dikerjain sama orang yang pintu mobilnya dirusak Dhea. Capek mana? Klen atau aku?” Viola marah- marah. Dia berdiri di depan kedua temannya sambil berkacak pinggang. Seperti Ibu kos yang sedang memarahi penghuni yang telat bayar sewa.
“ Tenanglah Ola. Mungkin mercedez itu hanya taksi online.” Megan kembali tenggelam ke dalam angannya sendiri. Mungkin Indra sekarang sedang berada di tengah kemacetan dan merindukan Megan. Megan tersenyum sendiri.
Viola tercengang mendengar kata- kata Megan. Biasanya di antara mereka bertiga kata- kata Megan adalah yang paling masuk akal. Namun, malam ini sepertinya kepala Megan terguncang keras. Tak ada yang bisa diharapkan dari Megan pada malam ini, dia jelas sedang bocor halus. Viola berpindah memperhatikan Dhea.
“ Heh Dhea, kau dengar tidak aku?” Viola membentak.