Apartemen seribu warna

rudy
Chapter #9

Bab 9 Pupu

 

 

Sudah beberapa hari ini Dhea selalu bangun pagi dengan penuh semangat. Jika biasanya Megan harus bersusah payah membangunkan, sekarang Dhea bersaing dengan Megan untuk siapa yang lebih duluan masuk ke kamar mandi.

 

Hanya sisa Viola masih bangun seperti hendak tersungkur, dan berjalan menuju kamar mandi seperti hendak memasuki rumah jagal. Hari- harinya sejak harus menjadi setengah pembantu bagi Ryan terasa sangat menekan batinnya. Setiap kali diminta membawakan sesuatu, langkah kakinya terasa berat bagaikan harus berjalan melalui ladang pisau dengan kaki telanjang.

 

Kedua temannya adalah kebalikannya. Mereka tampak jauh lebih bersemangat ketika berangkat ke kantor. Tanpa bertanya pun Viola mengerti, ada seseorang yang sedang mereka harapkan. Sebagai sesama wanita Viola jelas mengerti saat melihat kedua temannya berdiri lebih lama di cermin. Berbedak minimal tiga kali sebelum melangkah keluar dari pintu apartemen. Berputar seperti gasing di depan cermin untuk melihat tubuhnya sendiri di dalam balutan pakaiannya. Hanya soal waktu hingga saat mereka menceritakannya dengan menggebu- gebu.

 

Dan dia, Viola, untuk sementara waktu harus menelan seluruh penderitaan ini seorang diri. Penderitaan yang aneh, karena sesungguhnya hanya membawakan sesuatu dari pintu gerbang hingga lantai 33. Yang jaraknya tidak sampai sepuluh menit, dan bukan barang- barang yang butuh tenaga besar untuk di bawa. Namun setiap kali ada perintah, Viola selalu merasa seperti disuruh memindahkan gunung.

 

Seandainya semua ini dilakukan atas dasar membantu, Viola akan dengan senang hati melakukannya. Bukan hal yang sulit sesungguhnya. Yang sulit adalah karena dia tahu, dia disuruh melakukan ini sebagai bentuk hukuman atas kekurang ajarannya, maka dia melakukannya juga dengan berat hati. Setiap kali melihat pandangan mata yang dingin dari Ryan, selalu ada perasaan tak enak hati yang menghantui dirinya. Perasaan malu dan perasaan bersalah. Perasaan yang bagaikan mengubur seluruh harga dirinya. Sedang untuk mengucap kata maaf, rasanya juga sudah terlalu terlambat, sudah basi karena sudah lewat berhari- hari. Maka dia terpaksa menjalani peranan ini dengan hati berat. Peranan sebagai asisten komisaris dalam bahasa keren. Dalam bahasa kasar pembantu.

 

Dhea dan Megan kembali berjalan keluar dari apartemen dengan cerah ceria, wajah segar berseri. Mereka harus menunggu Viola hampir semenit hingga keluar dari pintu, dia berjalan seperti orang yang enggan hidup. Semangatnya hilang bagai asap ditiup angin.

 

Siang itu seperti biasa, dia mengantarkan makan ke lantai 33. Wajahnya suram dan tertekuk, seperti bulldog yang murung permanen. Meski tidak lagi sesuram saat pertama kali mengantarkan makanan, namun tetap saja belum ada alasan yang dapat membuat dia tersenyum. Pintu kaca yang bening dan tembus pandang membatasi ruang lift itu masih terasa dingin dan tidak ramah. Sendirian berada di dalam lift itu mendatangkan perasaan terasing, seperti sedang bertamu ke dunia lain. Menginjak lantai 33 itu seperti menginjak bulan. Dan memencet bel di samping pintu itu bagaikan hendak membuka portal ke dimensi yang berbeda. Dan wajah alien itu masih sama, dingin dan datar seperti lantai masjid.

 

“ Lain kali langsung masuk saja. Gak usah bel. Kartu yang kamu pegang itu kuncinya.” Kata Ryan dengan nada rendah. Seolah suara bel itu dapat memecahkan gendang telinganya.

 

Lihat selengkapnya