Apartemen seribu warna

rudy
Chapter #12

Bab 12 Salah Kaprah

 

 

Ruangan di lantai tiga masih seperti biasa. Lengang, hanya ada Pak Rachmat dan Ryan. Mereka duduk di sofa, dengan berbagai peralatan dapur yang unik dan indah terletak di atas meja pendek yang di kelilingi sofa. Poci teh dari tanah liat, cawan dari keramik putih, hingga nampan dari anyaman bambu. Semuanya terlihat eksotis dan sangat Asia timur.

 

“ Kamu benar- benar terlalu lama ada di Jepang.” Kata pak Rachmat ketika melihat Ryan dengan syahdu menyeduh teh jasmine, dan menuangkannya dengan penuh khidmat seolah seluruh perasaannya ikut terlarut di dalam tali air yang meluncur keluar dengan sempurna dari poci teko tanah liat di depannya.

 

Ryan tertawa. “ Ini sebenarnya budaya Asia, bukan hanya Jepang. Bahwa kita harus hormat kepada orang tua. Orang muda sudah sepantasnya menuangkan kepada yang lebih tua.”

“ Aku hanya beberapa kali sempat berbicara dengan Ayahmu. Aku kurang mengenal dia, tapi sangat jelas bahwa dia bukan hanya sukses secara ekonomi. Dia juga sukses mengajar anak.” Pak Rachmat tersenyum memperhatikan Ryan dengan mahir menyiapkan ritual minum teh ala Jepang.

“ Negara- negara Asia Timur memiliki ritual masing- masing yang menarik dalam hal menyajikan teh. Bagi mereka, minum teh itu kenikmatannya di mulai sejak memasak air.”

“ Bagi kamu sendiri bagaimana?” Pak Rachmat bertanya, sekaligus menguji perpektif anak muda di depannya.

“ Aku agak unik.” Ryan tersenyum menatap Pak Rachmat. ” Aku suka dengan ritualnya, namun aku tidak bisa membedakan rasa di dalamnya. Mana yang diseduh terlalu lama, atau mana yang daun tehnya terlalu tua. Aku bukan pencinta teh. Yang aku suka dari ritual itu adalah terdapat sangat banyak mentalitas positif seorang manusia yang dibutuhkan untuk menyajikan hanya secangkir teh. Dari kesabarannya, ketelitiannya, persistensi untuk memperhatikan hingga warna setiap tetes air teh, perbandingan banyaknya daun dan batang teh di dalam satu cangkir, lamanya di seduh harus berbeda antara wadah tanah liat dengan wadah yang lain, setiap detail di perhatikan hingga dapat menghasilkan rasa dan aroma yang paling optimal. Padahal belum tentu orang yang meminum tehnya dapat merasakan kesempurnaan di dalam secangkir teh yang dia sajikan. Bukankah itu seperti merefleksikan profesionalisme orang Asia Timur?”

 

Pak Rachmat tertegun mendengarnya, dan manggut- manggut membenarkan. Dan jika dibandingkan dengan kebiasaan orang kita minum kopi yang asal ada air panas kemudian langsung tuang, dengan wadah apapun jadi, mungkinkah ini semua ada pengaruhnya dengan etos kerja bangsa? Pak Rachmat menjadi terkejut. Niatnya ingin menguji perspektif Ryan, namun jawabannya malah membuat dia merenung. Pak Rachmat tersenyum melihat anak muda di depannya ini, masih sangat muda namun dapat melihat jauh ke dalam suatu permasalahan, dari sisi yang tidak terlihat oleh orang lain. Mendadak dia merasa dirinya sudah terlalu tua.

 

“ Bagaimana dengan dokumen yang kami kirimkan kepada Ayahmu di Jepang. Apakah ada masalah?”

“ Mereka tidak memberikan kabar mengenai itu. Seharusnya tidak ada masalah. Tapi kami akan butuh survey yang aktual, sekedar untuk formalitas pada saat mengajukan pinjaman ke Bank. Survey beberapa proyek perusahaan yang masih dalam tahap pengerjaan, dan juga survey tanah kosong yang merupakan aset perusahaan ini.”

“ Tentu saja. Akan aku panggilkan fotografer khusus, kamu akan membutuhkan sebuah tim khusus yang memiliki keahlian untuk menerbangkan drone.”

“ Tak perlu seformal itu. Sebenarnya yang aku butuhkan malah hasil kerja seorang amatir, agar dapat terlihat mentah dan keasliannya. Fotografer yang terlalu ahli, apalagi sampai yang memiliki tingkat editing seperti membuat film dokumentar, di Jepang sana malah akan mengundang pertanyaan dari auditor. Lebih baik jika disajikan secara rough.

“ Hasil kerja seorang amatir? Kalau begitu sangat banyak pilihannya. Akan kupanggilkan beberapa orang yang tak punya keahlian fotografi tapi tidak terlalu bodoh untuk diberi perintah.”

“ Tak perlu Pak Rachmat.” Ryan tersenyum. “ Aku sudah ada pilihan. Hanya butuh sedikit bantuan dari Pak Hadi.”

 

Pak Rachmat menatap dengan heran, namun mengangkat bahu dan membiarkan. Kemudian mengangkat pesawat telepon dan memanggil Pak Hadi. 

 

Pak Hadi datang dengan tergopoh- gopoh. Senyum menghias wajahnya dengan mata bulat besar seperti anak kecil melihat pasar malam. Punggungnya menekuk seperti kursi lipat ketika memberi salam kepada Ryan. Ryan balas tersenyum melihat sikap Pak Hadi, bahkan sebelum pembicaraan di mulai, dia tahu bahwa dia akan mendapatkan apa yang dia inginkan.

 

 

Lihat selengkapnya