Viola memperhatikan bayangannya di dalam cermin. Kaus kuning yang ia kenakan sengaja diusap dengan telapak tangannya yang berdebu, terlihat bekas tangan tercetak dengan jelas di bagian bawah kaus. Rambutnya sengaja ia buat berantakan, dia menarik beberapa jumput rambut dari ikatan kuncir ekor kudanya, memberi kesan tidak rapi dan jelas sangat tidak menikmati waktu. Tinggal cara memasang wajah kusam yang sulit. Viola tidak tahu cara berakting. Maka dia berjalan mondar mandir di dalam kamar mandi, bingung mencari cara untuk terlihat seperti orang yang sangat tertekan. Dia harus menunjukkan bahwa dia sangat tidak menikmati pekerjaan ini, agar Ryan tidak memberikan tugas- tugas yang lain.
Ting !!!
Sebuah ide muncul di kepalanya. Dia mengangkat handphonenya dan menelepon Dhea.
“ Halo, kenapa lae?” Dhea menjawab telepon di seberang sana.
“ Eh Dhea, aku lupa, aku hutang kamu totalnya berapa yah?” Tanya Viola.
“ Ehmm, sekitar tujuh juta. Memangnya kenapa? ”
“ HAH? Tujuh?? Aduhh, nggak, nggak apa- apa. Ya udah, makasih yah.” Hanya dalam sekejap mata Viola langsung murung.
“ Heh. Kenapa kau ini? Tenang saja lah. Kau ada perlu lagi?”
“ Nggak, nggak dulu deh. Aduh langsung pusing aku. Udah dulu yah.” Viola langsung menutup telepon. Yang tadinya mau mencari cara untuk pura- pura terlihat kusam dan lelah, sekarang ia tak perlu lagi berpura- pura.
Sebelum wajah murungnya lenyap, dia segera berlari ke arah lift dan secepatnya naik ke lantai 33. Dia membuka pintu apartemen Ryan dan langsung melihat si muka dewa hati iblis sedang duduk di sofa ruang tamu. Duduk santai menonton televisi dengan mengenakan celana sebetis, dan beberapa kantung makanan kecil yang telah kosong diletakkan di atas meja. Pandangan matanya yang dingin tak berperasaan menyapu seluruh tubuh Viola, bibirnya sedikit mencibir ketika melihat debu yang mengotori baju Viola. Namun ada kilatan rasa senang dalam pandangan matanya.
Masih dengan mengingat jumlah hutangnya kepada Dhea yang membuat bibirnya mencuat, dia mengeluarkan kartu memori kamera dan drone, dan menyerahkan keduanya kepada Ryan.
“ Kalau gak suka hasilnya bilang saja. Besok cari saja orang lain.” Dengan ketus Viola berkata sambil menyerahkan benda pipih itu.
“ Aku kan belum bilang apa- apa.” Kata Ryan datar. Dia menerima kartu memori itu, namun matanya tetap menatap televisi. Seolah dia sedang berbicara kepada dirinya sendiri.
Pupu yang berada di dekat sofa berjalan perlahan mendekati Viola, seperti biasa seluruh tubuhnya bergoyang saat dia berjalan perlahan. Pantat montoknya bergoyang seperti sedang berjoget. Meski sedang menjalani peran sebagai gadis judes yang sedang kesal, Viola tidak tahan untk tidak mengangkat Pupu dan menggendongnya. Dengan otomatis Viola berjalan menuju kulkas, dan mengambil beberapa helai daun selada yang segar.