Tiang- tiang yang berwarna hitam mencuat dari trotoar yang memanjang sejajar dengan deretan kios yang letaknya berada di bawah Apartemen. Setiap tiang menyangga sebuah lampu kuning yang dibentuk dengan artistik, seperti lentera tradisional jaman Tiongkok kuno yang sering kita lihat di film shaolin. Sinarnya lembut menerangi jalan sekaligus trotoar. Terang, namun bercahaya dengan penuh kelembutan.
Sulit untuk mendefinisikan ‘cahaya terang namun penuh kelembutan’ kepada orang yang tidak punya pasangan. Namun bagi yang sedang kasmaran, cukup sekali diucapkan mereka sudah maklum. Ketika lampu terlalu terang, yang mereka lihat hanya pasangan di depannya, maka terang seperti apapun akan terasa redup. Sebaliknya, ketika nyala lampu terlalu redup, yang mereka rasakan adalah api cinta di dalam diri mereka berdua, maka berkobar lagi nyala lampu di dalam hati mereka. Semuanya terasa indah. Semua cahaya terasa pas di mata saat ada si dia di tepi tubuh, semua yang dirasakan lidah terasa nikmat meskipun kadang mereka tak tahu apa yang sedang disuapkan ke dalam mulut. Apa lagi jika si dia yang menyuapkan, hanya sendok kosong pun akan tetap dikunyah seperti kelinci yang sedang mengasah gigi.
Di sebuah cafe mungil di bawah apartemen, tabung kaca yang meliuk membentuk tulisan BAKERY ONOKABEH, menyala berpendar dengan warna biru. Terasa sangat pas untuk nongkrong dengan pasangan, bukankah mereka bilang warna biru itu adalah warna cinta?
Cukup dengan melihat nama toko roti itu, maklumlah semuanya bahwa pemiliknya pasti orang jawa. Ono kabeh = semuanya ada.
Sama seperti judul tokonya, si pemilik sepertinya terobsesi untuk menyediakan semuanya, termasuk hingga makanan yang tidak ada hubungannya dengan tepung terigu. Keripik kentang misalnya. Kopi bubuk asal toraja. Minyak kayu putih asal Sumbawa. Kalau pagi, toko roti ini juga menyediakan nasi kucing ala cirebon. Dan pada saat malam tiba, seperti saat ini, saat lampu- lampu dinyalakan dengan redup untuk menimbulkan efek remang, maka toko rotinya menyediakan tempat untuk pasangan yang ingin menghabiskan waktu di luar ruangan apartemen yang kadang terasa membosankan. Tidak usah heran jika ada menu sari buah di dalam toko roti itu. Bahkan menu kopi juga ada di sana, meskipun hanya kopi sachet yang tinggal diseduh air panas.
Di dalam toko kecil itu tersedia tiga meja bundar, dengan empat bangku mengelilingi tiap- tiap meja. Tidak ada lampu di atas plafon, satu- satunya asal penerangan adalah cahaya dari dua buah rak roti yang berbentuk kaca transparan yang cembung bagian atasnya, lampu kuning yang sangat terang bersinar kemilau dari dua buah rak yang di susun huruf L. Selain itu yang yang menjadi penerangan adalah lampu tulisan toko itu yang berwarna biru, terpasang di etalase kaca dan menembus ke bagian dalam toko.
Bias- bias cahaya biru yang beraroma cinta terlihat bagaikan kain sutra yang beriak tertiup angin dan menyelimuti dua orang insan yang duduk bersebelahan di sebuah meja, tepat di samping kaca yang bersebelahan dengan trotoar. Pembicaraan mengalir di antara mereka seolah menggunakan bahasa yang hanya di mengerti oleh mereka berdua. Segelas sari buah jeruk yang diminum berdua masih menyisakan setengah gelas bahkan setelah mereka duduk sejam di tempat itu. Bukan dahaga akan air yang membuat mereka duduk di sana. Namun dahaga akan cinta. Maka segelas sari jeruk itu hanya merupakan tiket masuk cafe itu bagi mereka. Dan dua ekor lalat pengganggu yang juga berada di dalam toko tidak lebih dari mahluk asing yang tidak perlu mereka hiraukan.
Viola menguap, ini sudah yang ketiga kalinya, dan diikuti oleh Dhea, juga untuk ketiga kalinya. Acara di televisi mulai masuk ke sesi yang membosankan. Siaran berita. Tak ada lagi sinetron- sinetron lebay yang dapat menghibur dan mengocok perut mereka. Namun malam masih terlalu muda untuk memejamkan mata. Sekarang yang lebay justru adalah kawan mereka yang sedari tadi masih asik berbincang berdua di tepi jendela. Bagaikan patung mannequin di etalase toko baju.
Toko roti ini adalah tempat bagi mereka bertiga untuk menumpang nonton televisi. Apartemen kontrakan mereka yang tipe orang susah tidak memiliki perlengkapan elektronik yang dimiliki apartemen tipe orang normal.
“ Gara- gara mulut kau, sekarang kawan kita betulan akan digotong lelaki. Cem mana ini lae ?” Tanya Viola sambil memperhatikan Megan dan Indra.
“ Kau salah lihat kawan. Bukan kawan kita yang akan digotong. Tapi kawan kita yang akan menggotong lelaki. Itu lakinya tadi sedang di atas, kawan kita yang tilpun suruh dia ke bawah. Ini lelakinya yang diculik.”
“ Kau benar kawan.” Viola menghela napas sambil menggeleng. Kawannya yang satu itu hanya sisa jasad, jiwanya telah menghilang pergi ke dunia antah berantah yang disebut dunia cinta. Melayang dan terbang di antara awan dan bintang, meninggalkan kedua sahabatnya menjalani hidup yang seperti kutukan di dunia fana.
“ Megan memang punya ilmu, lihat itu, lakinya macam dipasangi kaca mata kuda. Kepalanya tidak pernah bergerak kiri kanan. Hanya bisa gerak naik turun saja.”
“ Namanya saja Megan. Medan ganjen.” Viola memperhatikan dengan murung. Terasa aneh, karena seharusnya dia ikut senang melihat sahabatnya berbahagia. Namun pada kenyataannya yang dia rasakan adalah kesepian saat melihat seorang sahabat asik berduaan dengan pacarnya.
Ruangan cafe yang kecil dan tanpa sekat itu sekarang terasa bagaikan terbagi menjadi dua ruangan. Satu ruangan adalah yang di duduki oleh Dhea dan Viola, ruangan dunia nyata yang penuh dengan masalah dan mimpi yang kandas. Ruangan lainnya adalah ruangan dunia fantasi yang membuat lantai bagaikan awan, dan bangku itu bagaikan burung rajawali yang dapat membawa penunggangnya bertamasya di antara bulan dan bintang.
Viola dan Dhea saling menatap, dan kompak sama- sama menggeleng dan menghembuskan napas panjang. Seolah dengan demikian beban batin mereka akan lebih ringan. Viola merasa makin galau ketika mengingat beberapa minggu yang lalu temannya berkeluh kesah adalah Megan, teman menggeleng bersama. Sekarang berubah menjadi Dhea. Hanya dia seorang yang tidak berubah, konsisten menggeleng dengan penuh resah dan gelisah.
“ Suram.” Gumam Viola sambil menggeleng sedih.
“ Kau masih ada obat cuci mata di lantai 33 kawan. Pantatku setiap hari di lem di atas kursi, hanya bisa pelototin itu layar kaca datar yang isinya garis dan angka.” Dhea ikut menggeleng dengan khusyuk.
“ Yang kau sebut obat cuci mata itu bawa belati di belakang punggung lae. Terlalu lama dia tinggal di Jepang. Kebiasaan jadi ninja dia. Kau silap sikit bisa putus leher.”
“ Masa sampai sekarang dia masih marah sama kau?”
“ Itulah susahnya dia. Dia marahnya dalam hati. Wajah macam Joong-Ki, tapi hati macam kunti. Dia itu dendam sama aku. Makanya sering dia kasih tugas yang susah- susah. Aku harus pura- pura sudah sisa satu jari menggantung di tebing, baru dia berhenti kasih tugas yang aneh- aneh. Setiap hari kalau mau ketemu dia aku harus ingat- ingat dulu hutang aku sama kau, setelah hampir nangis baru tampil di depan dia. Setiap hari macam itu kawan. Orang lain hidup mencari alasan untuk tertawa, aku hidup mencari alasan untuk menangis kawan.”