Apartemen seribu warna

rudy
Chapter #15

Bab 15 Berhenti

 

 

“ Ini apa- apaan?” Pak Hadi memperhatikan surat pengunduran diri yang diberikan dengan wajah pias oleh Viola. Bayang- bayang lengkungan hitam terlihat di bawah matanya.

 

Viola hanya butuh sehari untuk mengambil keputusan agar secepatnya menyelamatkan nyawanya yang terancam. Dia tidak bisa merasa aman setelah melihat adegan di depan toko roti itu. Meskipun adegan yang dilihatnya nihil kekerasan, namun membayangkan harus berdekatan dengan orang yang dapat ‘menghabisi’ dirinya semudah merogoh isi kantong sendiri sungguh sangat mengganggu. Semalaman dia hanya berguling kiri kanan tanpa dapat memejamkan mata, bayangan hitam orang- orang berbadan besar itu masih menghantui pikirannya.

 

“ Iya Pak. Mau mengundurkan diri.” Viola menjawab dengan kelu.

“ Lho kenapa? Ada masalah apa? Kamu bisa bicarakan dulu dengan saya. Kamu cukup punya prestasi di sini, dan prospek karier kamu cemerlang. Apalagi kamu ini adalah satu- satunya orang yang paling dipercaya oleh Pak Ryan. Saya tak bisa mengambil keputusan mengenai kamu. Kamu harusnya bicarakan ini dengan Pak Ryan, atau Pak Rachmat.” Pak Hadi terlihat agak panik.

 

Viola memang tahu, tidak akan demikian mudah baginya untuk keluar. Ujung- ujungnya pasti ke muka dewa hati iblis. Tapi tetap saja mendengar orang lain mengatakan mengenai itu membuatnya gundah gulana. Beberapa menit berselang dia dikawal oleh Pak Hadi menuju ruangan Pak Rachmat.

 

Viola merasakan tingkat kesulitan meningkat dengan drastis saat dia duduk di depan meja besar berwarna hitam mengkilap, dengan sebuah papan nama hitam bertuliskan tinta emas, President Director, terpampang jelas di atas meja itu bagaikan pengukuhan superioritas atas diri Viola. Viola mulai bergetar gentar.

 

“ Aku dengar kamu minta berhenti ?” Pak Rachmat bertanya dengan nada rendah. Kaca mata bulat ala harry Potter yang menggantung di hidungnya terlihat berkilat memantulkan cahaya lampu putih di atas ruangan. Namun tidak menutupi sinar matanya yang menyimpan rasa prihatin.

 

Viola tidak bersuara, hanya kepalanya naik turun beberapa kali.

 

“ Mungkin kamu juga tahu, urusan marketing staff tidak seharusnya sampai ke meja aku. Tapi untuk sekali ini tidak bisa dihindari, karena Pak Hadi memang tidak mungkin memutuskan mengenai ini. Karena kamu ini fungsinya sudah menjadi asisten satu- satunya bagi calon partner bisnis saya. Jadi urusan mengenai kamu ini sudah tidak bisa dipandang hanya dari sisi divisi marketing. Ruang lingkup kamu sudah melebihi itu. Dan pada saatnya nanti, setelah seluruh proses perpindahan dan penambahan saham baru, setelah Ryan resmi menjadi pemegang saham, saya yakin karier kamu akan melesat cepat.” Pak Rachmat berceramah dengan santai, dengan nada rendah dan tempo pelan namun tidak membosankan. Selayaknya orang yang sudah sangat terlatih untuk memberikan pencerahan dan mengubah persepsi orang agar sama dengannya.

 

Setelah bermenit- menit berceramah pada akhirnya mereka tiba lagi pada pertanyaan yang sama, “ kenapa kamu mau berhenti ? Apakah ada yang kurang memuaskan dari yang kamu dapatkan sekarang ini ?” Pak Rachmat baru menghentikan kata- katanya setelah dia mengeluarkan pertanyaan itu. Matanya berpindah dan menatap Viola dengan penuh perhatian. Mata itu seperti berkata bahwa dia siap untuk memenuhi permintaan Viola dalam skala yang cukup besar.

 

Mata Viola bulat besar tak berkedip membalas pandangan Pak Rachmat. Dia tahu, dia pasti akan ditanya seperti itu. Maka dia telah mempersiapkan jawabannya.

 

“ Sahabat Ibu punya Kakak punya anak punya sepupu jauh sedang hamil dan sekarang suaminya butuh orang untuk nemenin beli kitchen set aku berhenti mau bantu Ibu yang mau nemenin tante di rumah sepupu jauh yang tidak hamil dan belum punya suami agar keponakannya tidak sendirian.” Viola dengan serius berceloteh tanpa titik dan koma.

 

Pak Rachmat terbelalak diam dengan bibir bawah yang tumpah ke atas meja, dia hanya dapat merasakan tekad Viola yang sudah bulat sempurna untuk berhenti, tanpa mengerti satupun kata- kata Viola.

 

Gerbang kedua berhasil di lewati oleh Viola. Namun belum selesai. Bahkan seorang President Director, tidak mau memberikan keputusan mendahului si muka dewa hati iblis yang sok suci dengan peliharaan binatang lucu yang dapat meluluhkan hati. Viola kembali merasakan dingin di seluruh pembuluh darahnya ketika berjalan mendekati gedung apartemen yang menjulang. Padahal gedung yang sama juga merupakan tempat tinggalnya sehari- hari. Tempat yang ditujunya adalah tempat yang sama dengan yang telah puluhan kali dia datangi. Barusan beberapa hari yang lalu dia masih masuk ke dalam lift pribadi khusus lantai 33 itu sambil bersiul- siul seolah pulang ke rumah sendiri. Dan sekarang dia melangkah menuju tempat yang sama dengan kaki yang berat seolah setengah kaki terbenam di dalam lumpur.

 

Viola kembali melangkah dengan terseok- seok, gontai tanpa semangat hidup seperti saat pertama kali menuju lantai 33. Adegan yang terlihat oleh matanya di depan toko roti itu mempengaruhinya secara mental. Sangat mengganggu pikirannya jika mengingat akan sering berurusan dengan seseorang yang jika tanpa sengaja dikotori dengan sebutir debu mungkin akan mendatangkan resiko kehilangan nyawa bagi Viola. Apalagi jika mengingat perkenalan mereka diawali dengan peristiwa yang tidak menyenangkan.

 

Lihat selengkapnya