Apartemen seribu warna

rudy
Chapter #18

Bab 18 Jaga Diri

 

 

Lampu di dalam toko roti itu jelas tidak cukup untuk menerangi brosur tebal yang di bawa oleh Anton. Lampu yang hanya berasal dari rak roti, ditambah dengan warna kebiruan dari logo bakery, menjadikan tulisan di atas brosur menjadi terkamuflase di dalam keremangan malam. Namun yang peduli dengan brosur yang tak terbaca itu hanya Anton seorang, sedangkan ketiga dara di depannya bahkan tidak melirik sementara dia sibuk menerangkan berbagai macam jenis asuransi yang dia miliki.

 

Satu brosur bahkan sudah tak berbentuk, dikunyah hingga sobek oleh seekor kelinci nakal yang mondar mandir di atas meja, yang berulang kali mencium dan menjilat pulpen di tangan Anton. Anton harus berulang kali menghalau pergi kelinci itu, yang sangat tertarik untuk menggerogoti tali arlojinya yang kenyal. Kenyal dan enak untuk digerogoti, seperti sandal jepit Viola yang sekarang sudah hampir tak berbentuk.

 

“ Pupu, jangan.” Viola entah untuk yang keberapa kalinya mengangkat dan menurunkan Pupu, yang entah kenapa sedang sangat bersemangat. Sedari tadi sibuk sendiri mengelilingi toko roti itu dengan berlari, kemudian melompat ke pangkuan Viola, sebelum kembali naik ke atas meja. Sepertinya semerbak wangi roti membakar selera makan Pupu hingga dia tidak bisa berhenti berlari mencari sumber harum roti itu, tapi pada akhirnya bingung sendiri karena wanginya berada di segala penjuru.

 

Meskipun presentasi ini penuh dengan tantangan, Anton sama sekali tidak kehilangan semangat. Dhea tampil maksimal dengan dandanan feminin yang sangat menarik, terkesan kasual namun elegan. Rambut panjangnya menebarkan wangi apel yang sedari tadi mengundang Pupu untuk mencoba mengunyah rambutnya, wajahnya segar bercahaya setelah diamplas dan dipermak di bengkel wajah yang terdekat. Sedikit wangi alpukat berkat lulur setengah hari masih melekat di kulitnya, menjadikannya kemilau bercahaya. Semua itu hanya demi pertemuan ini.

 

“ Sakit hati bisa di klaim nggak?” Dhea bertanya dengan mata yang tak berkedip menatap Anton yang duduk tepat di depannya.

“ Ehm, maksudnya hepatitis ?” Anton berusaha bersikap profesional.

“ Bukan, sakit hati karena putus cinta.”

“ Oh, ehem, kalau itu klaimnya harus kepada pasangannya. Perusahaan asuransi tidak menanggung sakit semacam itu.”

“ Aih, padahal itu sakit banget loh. Terus kalau jatuh dari motor, atau ketabrak mobil, bisa di klaim nggak?” Tanya Dhea.

“ Oh kalau itu bisa. Ada asuransi kecelakaan.”

“ Kalau jatuh cinta termasuk kecelakaan nggak?”

“ Ehem, kalau jatuh yang itu bukan kecelakaan, itu namanya takdir.” Anton jelas kebingungan dengan segala pertanyaan yang salah kaprah itu, namun dia tetap dengan tabah membiarkan Dhea mendayung dan mengarahkan pembicaraan.

“ Aih, padahal jatuh cinta itu juga sekejap mata loh Bang. Kadang bahkan lebih gak disangka- sangka dibandingkan kecelakaan.”

 

Megan dan Viola menghela napas panjang, maklum bahwa untuk sekali ini mereka berdua hanya akan menjadi dayang pelengkap. Wangi roti yang dibakar, segarnya es sari buah, dan acara televisi menjadi pengisi waktu sesungguhnya bagi mereka berdua. Hingga acara televisi selesai, Dhea masih belum selesai dengan pertanyaan- pertanyaan ngawur yang dapat membuat seorang penjual menjadi pembeli saking pusingnya, dan seorang agen asuransi bisa menjadi korban serangan jantung saking kesalnya. Namun Anton ternyata sabar, dan perlahan mulai ikut- ikutan mengubah pembicaraan. Terseret oleh arus yang membawanya ke laut dalam. Dengan seribu satu alasan akhirnya Megan dan Viola meninggalkan mereka berdua.

 

Tidak banyak yang dapat ditawarkan oleh kompleks apartemen yang masih setengah selesai itu. Pada saat malam tiba, satu- satunya tempat terbuka untuk meluangkan waktu hanyalah di lapangan basket yang sangat jarang digunakan. Tidak ada taman, juga tak ada tempat bermain untuk anak- anak.

 

Sudah mendekati tengah malam saat Megan dan Viola duduk di bangku panjang yang mengelilingi lapangan basket itu. Menghirup udara malam yang terasa segar, sayup- sayup masih terdengar lantunan irama monoton dari paku bumi yang ditanam ke dalam tanah. Pembangunan proyek semakin meluas ke arah belakang, pertanda sebentar lagi akan ada menara apartemen baru yang menjulang di dekat yang sudah ada. Lampu- lampu pijar berwarna putih yang menyorot lapangan hanya dinyalakan sebagian, namun lebih dari cukup untuk mengusir kegelapan malam.

 

Viola membiarkan Pupu berlarian dengan leluasa di dalam lapangan yang di kelilingi oleh pagar kawat setinggi rumah bertingkat dua itu, tetap saja kelinci gemuk itu tidak mau berlari terlalu jauh. Sekian lama hidup dimanja di dalam rumah telah membunuh naluri binatang liarnya. Rasa takutnya kepada alam bebas melebihi rasa takut kepada manusia. Dia senang dapat berlari di lapangan terbuka, tapi setelah agak jauh selalu langsung memutar tubuh dan kembali ke Viola. Seperti anak kecil yang selalu mencari ibunya.

Lihat selengkapnya