Apartemen seribu warna

rudy
Chapter #19

Bab 19 Malam Minggu

 

 

“ Ola aku jalan dulu yah. Dadah !”

 

Pintu langsung tertutup lagi sebelum Viola sempat mengucapkan apapun. Hanya tangannya yang masih melambai percuma, orang yang dilambai bahkan tidak menoleh kebelakang.

 

Viola menghembus napas panjang. Setelah hampir setengah tahun di Jakarta, ini adalah pertama kali dia melewatkan malam minggu seorang diri. Hanya berteman seekor kelinci yang semakin hari semakin ngelunjak.

 

Dhea untuk pertama kalinya mendapatkan teman kencan sejak merantau di Jakarta. Tidak sia- sia beberapa hari ini dia selalu bersemedi mencari ilham untuk menemukan tipu muslihat dan modus- modus halus untuk bertemu dengan si agen asuransi. Sedangkan Megan, sudah dari siang menghilang dengan pasangannya.

 

“ Cem mana ini Pu ? Sisa kau dan aku. Semua beruntung, kapan aku yang beruntung Pu ? Heh, Pupu, sini jangan kau gigit lagi sandalku.”

 

Pupu berlari dari kejaran Viola, sandal karet itu digigit di mulut. Kelinci itu tahu, Viola hendak merebut kembali sandal itu. Dia lari ke kolong- kolong bangku dan meja yang menyulitkan Viola untuk mengejar, kemudian lari masuk ke kamar Megan, bersembunyi di bawah ranjang.

 

“ Pupu, keluar kau. Makin hari makin nakal kau. Pupu, sini. Jorok kau ini, sudah gigit sandal nanti malam masih jilat mukaku.”

 

Pupu berlari lagi keluar kamar saat Viola merayap masuk ke bawah ranjang. Dia gesit dan sangat lincah bergerak melalui sela- sela sempit di kaki bangku, meja, lemari dan ranjang. Setiap kali Viola mendekat dia dengan cepat menghindar dan masuk ke kolong perabotan yang lain.

 

Setelah capek mengejar akhirnya Viola mengeluarkan jurus pamungkas. Dia mengambil sebuah pisang, mengupasnya dan meletakkan di atas lantai, tepat di depan kolong ranjang. Dia berbaring di atas ranjang sambil menunggu dan mengawasi. Tidak butuh waktu lama, Pupu keluar dari bawah ranjang, dan langsung disambar oleh Viola. Pupu tak pernah bisa menahan diri jika melihat buah- buahan. Bahkan dalam tidur mulutnya akan bergerak mengunyah jika ada sebuah pisang di dekatkan ke mulutnya.

 

“ Mau lari kemana lagi kamu hah ? Makin hari makin nakal. Nih makan yang banyak, biar makin gendut, biar sekalian gak bisa lari.”

 

Dookdokdok ! “ Jangan dikasih makan mulu whoii !”

 

Viola tersentak kaget. Ada suara ketukan di pintu dan teriakan seseorang, suara itu sepertinya….lho, tapi seharusnya Ryan masih berada di Vietnam. Dia berdiri dan berjalan membuka pintu, dan tercengang melihat Ryan berdiri di sana. Tinggi menjulang, dan tampan berseri, namun tetap dingin membekukan. Viola memutar kepala dan mencari sekelilingnya, dia hanya sendirian.

 

“ Kok gak bawa pengawal? Gak takut hilang diculik Bos ?” Viola menyindir.

“ Mana Pupu ?” Tanpa basa basi Ryan langsung bertanya.

“ Pupu belum mau pulang. Dia di sini banyak teman, banyak makanan, banyak yang ngurusin, kalau di atas dia kesepian.” Kata Viola agak panik. Tak peduli senakal apapun Pupu, Viola sudah jatuh hati kepada kelinci gemuk itu. Mereka tidur seranjang setiap malam, dan tempat favorit Pupu adalah tidur dengan berbantalkan leher Viola. Dengan terbelalak Viola memegang kedua kusen pintu, menjaga agar Ryan tidak menerobos ke dalam. Namun tangan itu terlalu ringkih untuk menahan Tubuh Ryan yang menerobos masuk dengan mudah.

“ Eh, berani kau menerobos rumah orang.” Viola berteriak.

“ Rumah penculik, kenapa nggak berani ?” Ryan masuk ke dalam apartemen Viola dan tertegun. Ruangan di balik pintu itu mirip dengan kantor polisi yang hanya ada meja dan bangku plastik. Ryan tidak perlu menggerakkan tubuh untuk menjelajah ruangan itu, cukup dengan bola mata yang berputar semuanya sudah terlihat dan terekam dengan jelas. Sebuah ruangan yang sepertinya dimaksudkan untuk ruang tamu, dan sebuah ruangan lain yang ada wastafel, mungkin itu maksudnya untuk dapur. Tapi isi ruangan itu hanya ada satu kulkas kecil. Bahkan tidak ada meja makan ?

“ Kata siapa penculik ? Kan Boss yang suruh rawat.”

“ Ini gak ada sofa ? Tamu duduk di mana ?” Ryan hanya melihat tiga bangku plastik yang ada namanya.

“ Memang nggak terima tamu kok. Yang datang hanya tamu tak diundang.” Kata Viola dengan ketus.

 

Tapi Ryan tak peduli, dia masuk dan langsung duduk di salah satu bangku plastik. “ Bahkan tak ada televisi. Pupu bisa mati bosan.” Ryan menggerutu.

“ Eh. Kelinci nggak nonton tivi. Dia di sini lebih bahagia daripada di atas. Di sini dia banyak teman. Banyak yang bawa dia jalan- jalan ke bawah. Ya nggak Pu ?” Viola segera menyambar Pupu yang masih sibuk dengan pisangnya di atas meja. Memeluknya erat seperti Ibu yang menjaga bayi.

“ Banyak teman ? Kamu sendirian kok.”

“ Lagi pada keluar.”

 

Dengan kening berkerut Viola memperhatikan Ryan, bahkan saat bertamu ke rumah orang lain gayanya seperti berada di rumahnya sendiri. Ryan duduk tanpa perlu dipersilahkan, wajahnya yang dingin berputar ke sekeliling ruangan dan berhenti ke Pupu yang berada di pelukan Viola. Secara refleks Viola memiringkan tubuhnya, menutupi Pupu dari pandangan mata Ryan. Membuat pandangan mata Ryan semakin dingin.

 

“ Kamu ganti baju sana, cepetan.” Kata Ryan dengan nada suara datar. Seperti sedang berbicara dengan ember.

“ Untuk apa ?”

“ Kita keluar ?”

“ Keluar kemana ?”

“ Kita belanja keperluannya Pupu. Kamu bantuin milih nanti.”

 

Viola tercengang.

 

“ Keperluan Pupu ? Memangnya dia perlu apa ? “ Viola curiga.

 

Ryan berdecak tak sabar. “ Buruan sana, ganti baju. Kita cari rumah- rumahan untuk Pupu, sekalian cariin dia mainan yang bisa dia gerogotin. Kalau nggak lama- lama dia bisa gerogotin kabel.”

 

Viola diam sepanjang jalan. Mobil mewah yang bahkan tak pernah ia lihat lambangnya tidak memiliki perlengkapan yang cukup untuk meredam rasa gelisahnya. Dia duduk di samping Ryan, di bangku belakang. Bagian belakang mobil itu sangat lapang, dan mereka sungguh tidak akan terganggu dengan suara apapun, dan sebaliknya apapun yang mereka bicarakan tidak akan terdengar oleh bangku depan. Sebuah partisi kaca yang dapat diatur naik dan turun memisahkan antara deret depan dan belakang. Tidak ada suara yang menembus kedalam mobil, setidaknya itulah yang Viola rasakan. Entah karena memang jalan sedang sepi, atau karena peredam suara di dalam mobil itu sedemikian canggihnya.

Lihat selengkapnya