“ Ya sudah itu saja. Hanya belanja keperluan Pupu, makan malam, terus pulang.” Viola mengulang ceritanya untuk yang kedua kali. Matanya melirik wajah kedua sahabatnya. Rona wajah mereka berdua dingin. Yang satu menatap pajangan makanan di dalam rak warteg korea tempat mereka sedang duduk, seolah tidak ada yang perlu didengarkan. Satunya lagi mengaduk piring di depannya, seolah lebih menarik menghitung butiran nasi di atas piring itu.
“ Sungguhan lae.” Viola berkata dengan gemas.
“ Eh, Ola. Kau bicara seolah pulang jam sembilan malam. Kita berdua ini tungguin kamu sampai jam dua belas malam, kau belum juga ingat rumah. Sampai kita berdua ketiduran, entah kau pulang jam berapa kamipun tidak tau. Dan sekarang mau dengar kau alasan hanya keluar sebentar sama Pupu dan Papa Pupu untuk beli barang- barang Pupu setelah itu makan malam sama Pupu dan Papa Pupu terus buat rumah untuk Pupu bareng Papa Pupu, begitu ?” Dhea berceloteh tanpa titik dan koma. Jelas dia tidak puas dengan jawaban yang di berikan oleh Viola.
“ Hah ?” Viola melongo berusaha mencerna kata- kata Dhea yang terdengar memusingkan di telinganya.
“ Nih, dengar yah, intinya, kau itu tidak mungkin hanya sekedar beli barang untuk Pupu. Makan malam, terus pulang. Gak mungkin kawan. Ngaku, kau kemarin diculik kemana saja sama itu Raja setan sampai lewat tengah malam. Kau diancam sama dia yah ? Atau jangan- jangan dia pasang alat sadap di badan kau yah ? Makanya kau tak berani cerita ? Kedip tiga kali kalau nyawa kau terancam.” Megan memperhatikan seluruh tubuh Viola seolah mencari cipratan lumpur.
“ Aihh kau ini. Tidak seperti itulah kawan. Dia tidak seburuk itu kok. Dia bawa aku makan di tempat yang bagus, tapi aku tak tau di mana itu. Hanya tau itu ada semacam padang rumput, luas dan bagus. Itu saja. Tidak ada bahaya lae.”
Sekarang kedua temannya yang tercengang menatap dia.
“ Otak kau sudah geser Ola. Baru berapa hari yang lalu masih kedengaran kau ngomel- ngomel soal dia, sekarang kau malah bilang dia tidak seburuk itu ? Kalau ada mata- mata dia di sekitar sini, kedip dua kali.” Dhea berbisik di kupingnya.
“ Klen ini kedap kedip melulu. Klen tanya aku sudah jawab, tapi tidak ada yang mendengar. Hanya suruh kedap kedip terus. Otak dan kepala klen perlu di spooring itu, sudah melenceng sebelah.” Viola mendesah gelisah, tidak tahu lagi harus bagaimana menenangkan kedua kawannya ini.
“ Lalu, kau mau bilang, kemarin malam kau itu suka rela diajak sampai lewat tengah malam ? Tanpa dia perlu memaksa, kau sudah mau ?” Nada suara Megan tenang dan sangat lembut. Namun jelas arahnya sangat menghanyutkan.
Viola terbelalak menatap Megan, yang ditatap sedang asik menyuap nasi dari piring ke mulut, seolah tidak pernah mengucapkan pertanyaan yang barusan. Hanya bola matanya yang melirik Viola penuh selidik.
“ Pertanyaan kau jahat.” Viola cemberut.
“ Lho ? Pertanyaan mana ada yang jahat ? Kan kau tinggal jawab. Yang jahat itu kalau ada pernyataan tanpa ditanya dulu.”
“ Memang. Tapi pertanyaan kau jawabannya seperti terpaksa iya.”
“ Lah berarti benar dong. Kau sama dia mulai dekat ?”
Viola menggaruk kepala. Mulai dekat ? Sebetulnya sejak mulai mengambilkan makanan memang tak pernah benar- benar jauh kan ? Viola mengerutkan kening dan berpikir keras, tapi dia juga tidak bisa mengatakan seperti itu kepada kedua sahabatnya. Akan terdengar seperti kacung yang sedang membela Bossnya. Dan mereka akan makin curiga lagi setelah itu.
“ Kau dan dia ngapain saja sampai liwat tengah malam ?” Dhea bertanya sambil matanya menatap ke arah lain, seolah tidak benar- benar ingin mendengar jawabannya. Viola paham pertanyaan semacam itu. Itu adalah pertanyaan yang hanya menghendaki jawaban yang ingin ia dengar. Jika jawaban yang diberikan tidak sesuai dengan yang diinginkan, Dhea tetap tidak akan percaya.
“ Main sama Pupu.” Viola menjawab sekedarnya.
“ Lalu kenapa waktu Pupu di apartemen kita kau tidak pernah main sampai tengah malam dengan Pupu ?” Dhea kembali mencecar. Bagaikan jaksa penuntut mengejar pengakuan terdakwa.
Viola mendesah kesal, dia sudah tahu pertanyaan semacam itu tidak akan pernah berhenti. Mereka menginginkan jawaban yang sensasional. Yang bisa dijadikan bahan pembicaraan berminggu- minggu.
“ Klen ini hanya mau dengar yang heboh. Klen sendiri gimana heh ? Kemarin malam ada kejadian apa sama cowok klen ? Klen berdua belum laporan sama aku.” Viola menagih cerita.
“ Kau yang ditanya malah lari kesana kemari. Mirip Pupu kalau lagi curi sandal.” Megan mengerutkan kening.
Viola kembali mendesah. Bukan tidak mau menjawab, namun dia tidak tahu apa yang harus dijawab ? Apa yang mau di ceritakan ? Mengenai mobil yang dikawal beriringan padahal hanya ke pet shop ? Makan malam di taman indah yang dijaga lebih ketat dari Kebun Raya Bogor ? Ayahnya yang punya kasino di 47 negara ? Yang punya 18 kapal pesiar ? Atau komputer dan ponsel khusus untuk menghubungi Ryan ?
Semua itu akan semakin membuat mereka ketakutan. Dan mungkin malah akan membahayakan mengingat hal semacam ini tidak akan diungkapkan oleh Ryan kepada semua orang. Akan lebih baik jika kedua sahabatnya perlahan- lahan berubah dan memandang Ryan sebagai manusia biasa yang sama saja dengan yang lain.
Tunggu dulu, kok aku jadi berpikir memihak kepada Raja setan ? Viola mulai cemas akan dirinya sendiri. Mungkin temannya benar, otaknya mulai geser. Dia mengguncang kepalanya seperti dadu di dalam mangkuk.
“ Kenapa kau ini ? Pusing ? Ingat dia melulu yah ?” Dhea sama sekali tidak menolehkan kepala kepada Viola, namun anehnya tidak ada satu gerakanpun yang lolos dari pandangan matanya. Bakat murni seorang kepo.
“ Ehhh, lihat, kau bisa menuduh begitu pasti karena kau sendiri gak bisa lupa Anton. Benar kan ? Hayo ngaku, kemarin malam kau ngapain saja sama dia ?” Viola balik menyerang.