Ryan sibuk mengutak- atik kompor kecil berbahan aluminium yang baru ia beli. Angin yang berhembus menyulitkan dia untuk mengatur besar kecilnya lidah api yang dia inginkan. Sayup- sayup dia dapat mendengar suara riuh di bawah.
“ Pupu, sini. Makin nakal kau, jangan ambil kantong plastik itu. Hei, aduh ampun deh.”
Ryan melihat langit malam yang berada di atas kepala, cerah tanpa awan. Bulan dan bintang terlihat jelas seperti dalam lukisan. Hembusan angin di lantai paling atas menara apartemen yang beratapkan langit itu terasa menyegarkan. Tanpa bau asap knalpot dan timah hitam, bisingnya suara kendaraan dari kepadatan jalan Ibu kota tidak cukup kuat untuk merayap hingga ke lantai 33 1/2 yang sedang mereka tata menjadi tempat makan outdoor.
Beberapa pot bunga bonsai yang di tata artistik mengelilingi sebuah bungalow dengan ornamen kayu, mirip seperti pagoda di Jepang. Hasil kerja perusahaan designer interior ternama asal mancanegara yang biasanya di gunakan untuk menata hotel berbintang.
Terdengar suara langkah kaki menaiki tangga, tak lama kemudian terlihat Viola naik ke atas dengan Pupu di dalam gendongannya. Dua orang berpakaian putih ala chef mengekor di belakangnya dengan membawa dua buah baki besar berisi bahan makanan yang akan mereka gunakan untuk memasak hot pot.
“ Nah, bagus kan tempat ini ? Enakan begini kalau makan outdoor kan ? kalau udah kenyang tinggal jalan kaki turun ke bawah. Langsung tidur. Gak usah macet- macetan berjam- jam, gak usah ganti baju, gak usah keluar masuk tempat parkir.” Kata Viola.
Viola tahu, Ryan tidak suka makan di ruangan tertutup yang akan membuat bau makanan maupun sampah makanan terperangkap di dalam ruangan. Itu juga sebabnya dapur di dalam apartemennya tak pernah sekalipun digunakan. Kompor mahal yang disediakan bahkan belum pernah disambungkan ke pipa gas.
“ Ya.” Jawab Ryan singkat. Dia memperhatikan Viola yang melilitkan tali kekang Pupu ke kaki meja. “ Tumben diikat. Dulu kata kamu kasihan ?”
“ Makin nakal dia. Tadi di kasih satu lembar selada nggak mau, dia malah ambil satu plastik dibawa lari. Rasain, sekarang gak bisa lari.”
Percuma, Pupu memang tidak akan lari jika melihat mereka berdua duduk di meja makan. Dia sama sekali tidak merasa sedang dihukum. Dia naik ke atas kursi dan mengintip meja. Dia tahu jika Viola dan Ryan duduk seperti ini, tidak lama lagi akan banyak makanan dengan wangi yang menarik.
“ Urusanku di sini sudah selesai.” Kata Ryan.
“ Lalu ? Mau pulang ke Jepang ?”
“ Bukan pulang. Sebenarnya pulang itu kalau ke Indo. Lebih tepat kalau disebut pergi ke Jepang.”
“ Kalau begitu kenapa kantornya harus di Jepang ?”
Ryan tersenyum dan melirik Viola. “Mendirikan perusahaan yang dasar pendapatannya dari perjudian di Indonesia ? Mana bisa ? Lagi pula Ayahku lebih memilih mendirikan kantor di luar negeri daripada dituduh sebagai penghalang orang masuk surga.”