"Pembunuhan?" Candra membelalak tak percaya. Ia menunduk dalam seakan tak percaya jika peristiwa tadi disebabkan perbuatan orang lain. "Apa yang membuatmu berpikiran seperti itu?"
"Feeling." Anita belum mau membocorkan kecurigaannya pada setangkai kamboja biru itu.
Candra tersenyum kecut. "Hanya feeling? Tapi, kuakui, terkadang feeling wanita itu benar." Ia menatap Anita sesaat sebelum memalingkan wajahnya. "Jika itu kasus pembunuhan, bagaimana bisa pintunya terkunci dari dalam dan tidak ada kerusakan?"
"Enlahlah."
Anita menatap ruang yang tak jauh dari tempat mereka duduk. Kesibukan orang yang berlalu-lalang membuka pintu hasil dobrakan Pak Arya membuat Anita bisa melihat ke dalam walau sekilas. Terlintas kembali dalam benaknya, ketika Bu Dwi tergantung di tali tambang itu, berayun-ayun dalam keadaan merenggang nyawa. Apa yang Bu Dwi rasakan terakhir kali? Takutkah? Menyesal? Atau hanya pasrah?
Bunyi sirine yang meraung-raung memasuki sekolah tanda bantuan telah tiba. TKP telah disterilkan dan garis polisi melintang memberi peringatan bagi yang tidak berkepentingan untuk jauh-jauh dari sana. Karena kedatangan polisi itu pula semua orang yang lalu lalang sedari tadi berangsur-angsur berkurang.
Tak berselang lama, raungan sirine lainnya menambah semarak sekolah di waktu-waktu krusial itu. Mayat Bu Dwi yang telah terbungkus kantong jenazah segera dilarikan untuk dilakukan otopsi.
Siswa-siswi juga guru-guru yang tadinya menjauh karena larangan para petugas kembali mendekat ketika ambulans akan berangkat. Isakan tangis kembali bertalu-talu menandakan kesedihan mendalam yang dirasakan karena kematian Bu Dwi. Kini salah satu guru favorit di SMA Harapan Pertiwi itu hanya tersisa nama dan kenangan.
Anita, yang juga ikut meneteskan air mata, bertanya-tanya dalam hati. "Kenapa aku begitu yakin jika ini bukan kasus bunuh diri? Tapi, siapa dalang dibalik kasus ini? Mengapa ia tega membunuh Bu Dwi?"