Anita meraih selembar kertas juga pulpen milik Ryan. Ia mulai mencoret-coret kemudian mengarsir hingga membentuk setangkai bunga. Kemudian menambahkan warna biru di kelopaknya untuk menambah kesan realistis. Itu adalah bunga yang dilihatnya sewaktu kematian Bu Dwi dan Nuril.
"Gak nyangka gambarmu sebagus itu, kenapa gak pernah ikut lomba menggambar?" tanya Ryan dengan tatapan takjub.
"Loh, ini kan bunga yang ada di samping kolam waktu Nuril tewas!" Candra melihatnya dengan serius. "Gak salah lagi, warnanya juga biru."
"Bunga yang sama persis aku lihat di ruangannya Bu Dwi," ucap Anita seraya mengangguk menyetujui perkataan Candra. "Aku yakin, ini bukan cuma sekedar kasus bunuh diri."
Kedua lelaki itu termenung memperhatikan gambar Anita. Dalam keheningan itu, pintu yang tiba-tiba terbuka mengagetkan mereka bertiga. Raya sampai tertawa melihatnya ekspresi mereka.
"Duh, bikin kaget aja!" gerutu Ryan.
"Ra, kamu kalau masuk ngetuk dulu kek atau salam gitu!" Candra ikut protes.
Anita seperti biasa, hanya terdiam meskipun rasanya jantungnya sempat berhenti berdetak.
"Ya maaf, kalian serius banget sih." Raya masih mengulum senyum manis dan ikut bergabung dengan grup kecil-kecilan itu. "Emang kalian bahas apaan?"
"Kematian Bu Dwi dan Nuril," respon Anita singkat.
"Bukannya Bu Dwi bunuh diri? Kalau Nuril sih belum pasti, soalnya mayatnya masih diotopsi, kan?" tanya Ryan penuh ragu.
"Ngomong-ngomong soal Nuril, aku sempat dengar guru-guru cerita hasil otopsinya," Raya memperbaiki posisi duduknya, menghadap tiga orang lainnya. "Gak ada luka luar, luka dalam. Pokoknya gak ada tanda-tanda kekerasan. Juga gak ditemukan indikasi keracunan. Seperti Nuril emang menenggelamkan diri di kolam itu."
"Tapi kolam itu kan gak tinggi-tinggi amat, paling cuman segini," celetuk Candra seraya menggaris pinggangnya menggunakan telunjuk. "Terus kalau gak ada luka, darah siapa yang menggenang di situ?"