Sang Primadona Sekolah ditemukan tewas akibat pendarahan. Tengkorak kepalanya pecah hingga secuil benda kenyal berwarna merah muda keabu-abuan menyelinap keluar. Mata yang memantulkan blitz melotot tajam seakan mengutuk semua orang yang mendokumentasikan kondisi terakhirnya. Bibir yang dulu sering digunakan untuk memberi aba-aba pada anggota cheers sekarang mengeluarkan sebaris darah segar. Rambutnya yang disanggul membentuk bunga kini acak-acakan dan menempel erat di beton dengan cairan pekat bernuansa merah.
Dan tak jauh dari jemari berpoles kuteks merah muda yang sudah kaku itu, setangkai bunga berdiam diri. Kamboja berwarna biru gelap mendekati hitam jelaga.
~~~
"Nit! Anita!!" teriak Candra. Lelaki itu berusaha keras menerobos penjagaan dari Pak Arya di depan ruangan kepala sekolah. "Pak, biarin saya masuk! Saya mau lihat kondisi Anita!"
Pak Arya memandang Candra kemudian mengalihkan pandangannya ke semua orang yang penasaran ingin masuk sekadar mencuri dengar kejadian tadi. "Kamu gak perlu masuk, dia baik-baik saja," ucap guru olahraga itu tenang.
"Tapi, Pak, saya harus memastikannya langsung!"
"Kalian semua pulang saja, acara hari ini dihentikan sampai sini," perintah Pak Arya. "Ini juga untuk keamanan kalian sendiri."
Beberapa orang mendengus kecewa sebab rasa penasaran mereka harus dibawa pulang. Namun, melihat kesungguhan ucapan Pak Arya membuat mereka mau tak mau mengalah. Keramaian yang mengelilingi ruangan itu berangsur-angsur menghilang. Menyisakan seorang lelaki dengan tatapan tajam sekaligus nanar. Ia bertekad tidak akan pergi sebelum keinginannya terpenuhi.
Pak Arya menghela napas berat dan mengusap kepalanya. Menghadapi murid yang keras kepala memang sangat menyusahkan.
"Pulanglah, aku yakin temanmu itu akan baik-baik saja. Kami juga sudah menelpon pihak rumah sakit untuk melakukan pemeriksaan lanjutan," bujuk Pak Arya berharap itu bisa mengurangi pekerjannya.