"Adik namanya siapa?" tanya Indah, psikolog yang ditugaskan untuk mendampingi Anita. Wajah teduhnya serta senyum yang menenangkan membuat Anita berangsur-angsur merasa santai.
"Anita." Gadis itu segera menyambut uluran tangan Indah.
"Aku Indah. Karena kamu satu-satunya saksi kunci kejadian tadi, jadi saya diminta untuk menemani Adik selama pemeriksaan dan sekarang akan kita mulai. Apa kamu bersedia?"
Anita termenung mendengar hanya dirinya yang menjadi saksi kunci. Sewaktu kejadian Bu Dwi ia hanya siswa biasa yang sempat melihat kondisi tempat kejadian perkara. Sementara saat kematian Nuril ada mereka bertiga. Dan sekarang hanya ada dirinya, apalagi ia melihat langsung saat Yuni terjatuh dari atas sana. Rasanya seperti ada sebuah beban tak kasat mata menimpa seluruh tubuh hingga membuatnya tersungkur.
Sebuah pijatan pelan di bahunya menyadarkan Anita dari lamunan singkat. "Melihat kondisi Anita, apakah interogasinya tidak bisa ditunda hingga esok?"
Gadis itu melihat Candra seakan melindunginya dari tatapan-tatapan dingin terutama para petugas kepolisian. Ia ingin bersorak setuju atas ucapan Candra. Namun, mengingat sorot mata orang tua Yuni tadi, penundaan hanya akan membuat mereka makin lama menunggu.
"Saya bersedia," jawab Anita pelan.
"Tapi, Nit—"
"Gak apa, Can, makin cepat ini selesai makin bagus," sela Anita.
"Kalau begitu, saya izin untuk merekam pembicaraan ini untuk dijadikan alat bukti." Petugas dengan name tag Eri menyalakan alat perekam, sementara petugas yang satunya, Tio, mulai menanyai Anita.
Semua pertanyaan Tio bisa dijawab Anita dengan tenang dan lancar. Namun, tiba saat Tio menanyakan situasi saat kejadian Anita melihat Yuni jatuh, ada teror di matanya yang tidak bisa ia sembunyikan. Gadis itu berusaha keras mengutarakan isi pikirannya, tetapi hanya berakhir sia sebab suaranya tak bisa keluar.
"Mohon ulangi jawaban, Saudari," ucap Tio.
"Jika kamu merasa tak bisa melanjutkan sesi ini, kita tunda saja hingga besok, ya?" saran Indah penuh kelemah lembutan.
Anita menggeleng cepat, ia tak mau karena dirinya penyelidikan ini tertunda. Sayang, harapannya tak bisa terkabul sebab ia jatuh pingsan di pelukan Candra.
~~~
Anita tersadar dari pingsannya saat ia merasa elusan lembut di kepalanya. Ia tak ingin membuka matanya hanya untuk menikmati kenyamanan yang ditimbulkan dari gerakan sederhana itu. Namun, lama-kelamaan elusan itu berubah menjadi sapuan kasar hingga rambutnya tertarik. Segera Anita terbangun dari mimpinya yang menakutkan.
"Ah, kamu sudah sadar," sapa wanita dewasa yang baru dikenalnya ketika di ruang kepala sekolah. "Bagaimana perasaanmu?"
Indah melangkah ke samping Anita dan membantunya duduk. Ia mengusap pelan kepala Anita yang langsung ditepis kasar oleh gadis itu. Tentu keduanya sama-sama terperanjat.
"Maaf, aku tak bermaksud. Aku hanya refleks." Perasaan bersalah seketika menyeruak di dalam hati Anita. Ia juga tak menyangka jika ia berubah sensitif hanya karena mimpi itu.