Anita telah siap berangkat ke sekolah ketika Bu Kinan mengirimkan pesan untuk beristirahat memulihkan kesehatannya selama beberapa hari ke depan. Meskipun gadis itu telah menjelaskan panjang lebar jika ia sudah bisa masuk sekolah hari ini, Bu Kinan tetap bersikeras meminta Anita izin. Beliau khawatir jika Anita masuk sekolah sekarang malah membuatnya tidak fit untuk mengikuti ujian nanti.
"Ya, Bu. Terima kasih atas perhatian, Ibu," balas Anita pada pesan Bu Kinan.
"Sama-sama, Nak," tutup Bu Kinan.
Karena tak jadi berangkat, Anita segera berganti pakaian dan daripada menghabiskan waktu dalam kebosanan, ia memilih untuk bersih-bersih rumah. Lagipula ia juga ibunya jarang memiliki waktu untuk itu. Tak heran jika ia mengatakan rumah ini tidak lebih dari rumah singgah untuk mereka.
Melihat rumah yang tadinya berantakan menjadi bersih membuat ia merasa bahagia. Anita beristirahat di dapur ketika melihat kulkas putih terdiam di pojok ruangan. Teringat ibunya dulu sering meninggalkan catatan tempel di sana. Namun, kebiasaan itu telah musnah ketika Ibu mengamuk mendapati Ayah selingkuh.
Gadis itu mengembuskan napas. Ia mengambil segelas air dingin kemudian berlalu pergi. Menyalakan televisi untuk sekadar menghidupkan suasana di saat ia sibuk berselancar di media sosial. Anita berhenti menggulir lini masa ketika telinganya mendengar berita siaran langsung dari televisi. Kasus bunuh diri yang ketiga kalinya terjadi di sebuah sekolah menengah atas.
Anita memandang secara saksama berita yang ditayangkan. Mereka yang lalu lalang, saksi-saksi kejadian, guru, kepala sekolah, hingga penjaga sekolah adalah orang yang familier di ingatan Anita. Bahkan Si Kembar Emas juga sempat diwawancarai.
Terjadinya kekacauan mendekati minggu ujian ini juga ditanggapi oleh dinas terkait. Dan karena ujian tidak bisa ditunda, maka proses belajar mengajar tetap berjalan. Bedanya pihak kepolisian akan dikerahkan untuk menjaga keamanan sekolah.
Anita bersyukur absen sekolah hari ini sehingga wajahnya tak terpampang di layar kaca. Setidaknya itu mengurangi risiko ia diwawancarai ulang oleh ibunya. Pun ia sangat bersyukur beliau bukanlah tipe orang yang suka mengikuti berita viral. Meskipun begitu, ia tetap berharap berita terkait sekolahnya bisa segera turun layar dan kehidupannya bisa kembali damai.
Suara klakson dari depan rumah mengembalikan kesadaran Anita. "Paling tetangga sebelah," batinnya seraya kembali bermain media sosial. Namun, klakson itu kembali berbunyi. Saat, layar ponselnya menampilkan panggilan masuk dari Candra, barulah ia bergegas menuju pintu.
"Sibuk, gak?" tanya Candra duluan.
Anita menggeleng pelan. "Eh, ini kan masih jam sekolah. Kamu kenapa bolos?!"
Candra cuma senyum dan berkata, "Jalan, yuk!"
Mendengar ajakan Candra, seketika gadis itu teringat pertanyaan Indah tempo hari. "Apa kamu dan Candra berpacaran?"
"Bentar," pinta Anita. Kebingungan yang sempat singgah di kepala berubah yakin jika ada baiknya hubungan ini tidak diresmikan dengan ucapan aku cinta kamu ataupun status pacaran.
~~~
Deru bunyi motor menemani perjalanan mereka. Anita merasa asing dengan arah jalan yang mereka lalui. Mulai dari ramainya kendaraan sampai kesunyian rerimbun pohon. Namun, ia hanya diam menunggu ke mana Candra membawanya.
"Sampai!" seru Candra.
Setelah melewati belasan tikungan juga tanjakan, tibalah mereka di depan sebuah rumah khas pedesaan yang dipenuhi pohon-pohon lebat. Halamannya luas dan ada sejumlah motor terparkir rapi. Di sekitarnya tak ada rumah penduduk, bisa dibilang rumah ini berdiri sendiri di tengah hutan. Anita tak bisa membayangkan jika ia harus datang ke sini di malam hari.
"Meskipun kelihatannya kayak gini, tapi jangan salah! Ini hidden gem!" Candra memimpin jalan masuk ke dalam rumah itu.