Anita tiba di sekolah seperti biasa. Bedanya saat ini dua orang polisi berjaga di pintu gerbang. Mereka tampak asyik mengobrol dengan guru yang piket. Anita menghampiri mereka dan menyalami satu per satu. Dari belakangnya seseorang mengagetkannya yang ternyata adalah Raya. Untunglah ia bisa menjaga raut wajahnya dan tidak berteriak. Bisa dibayangkan betapa malunya andai hal di pikiran gadis itu benar-benar terjadi.
"Gimana keadaanmu?" tanya Raya. "Kudengar kamu pingsan waktu ditanyai polisi."
"Ah, iya," jawab Anita mengambang. Dikagetkan seperti tadi membuatnya tidak fokus.
"Oke, duluan ya. Ryan udah manggil. Bye!" pamit Raya. Ryan sempat melambaikan tangan dan tersenyum kepada Anita yang juga dibalas sama. Si Kembar Emas itu kemudian menghilang di balik belokan koridor.
"Kalau aku jadi kamu, aku bakal minta izin seminggu," ucap suara lelaki yang sangat dikenal Anita.
Gadis beriris madu itu tersenyum mengejek. "Itu sih kamu, sukanya mengambil kesempatan dalam kesempitan!"
"Ya, kalau kesempatannya gak diambil, kan jadi sayang," balas Candra yang ikut tersenyum.
"Sayang apa sayang?"
Tawa keduanya mengalun menemani langkah mereka menuju kelas. Suara merdu itu baru menghilang saat seorang polisi menghampiri mereka.
"Permisi, Adik--Adik. Jika kalian menemukan kejanggalan atau sesuatu yang mencurigakan, segera lapor kepada kami atau guru kalian, ya!" pinta polwan dengan papan nama Rina itu.
"Siap, Kak!" seru Candra dan memperagakan pose hormat.
Tak ingin wibawanya jatuh di depan anak sekolah, Rina hanya tersenyum untuk menahan tawa yang hampir keluar. "Oke," ucapnya singkat kemudian meninggalkan mereka berdua. Mengingatkan kepada siswa lainnya terkait hal yang sama.
Sementara Anita sudah menahan tawa sekuat mungkin hingga bahunya bergetar. Barulah saat polwan itu pergi, gelaknya lepas dari bibir.
Melihat Anita tergelak, Candra malah ikut-ikutan. Sampai-sampai di kelas, seisi ruangan memandang kedatangan mereka dengan heran. Mujur, masih kurang orang sehingga tatapan-tatapan itu segera teralihkan pada urusan masing-masing.
"Bahagianya~" gurau Lena seraya menaikturunkan alisnya. "Kuharap aku juga bisa sebahagia kamu."
Senyum sendu dari anggota cheers itu menyadarkan Anita dari perasaan bahagianya. Padahal seniornya baru saja meninggal, ia sepatutnya tidak bersikap berlebihan. Apalagi waktu itu Lena sedang mencari Kak Yuni, pasti ia sangat syok melihat seniornya sudah terbaring tak bernyawa.
"Maaf," gumam Anita menyesal.
"Kenapa minta maaf? Kamu gak salah kok. Jangan bilang masalah Kak Yuni?" tebak Lena.
Anita hanya mengangguk singkat.