Suara sirene kembali meraung di dalam SMA Harapan Pertiwi. Namun, bukan itu yang mengagetkan mereka. Seolah telah terbiasa dengan pemandangan itu, ada hal lain yang jauh membuat jantung berdebar kencang. Ledakan di laboratorium IPA. Seketika menewaskan salah satu bintang sekolah yang telah membawa pulang piala kejuaraan basket.
Mario Yudhasthala. Kini namanya tinggal kenangan dan membawa duka yang masih basah di relung hati teman-teman juga para guru, terutama penggemar beratnya di sekolah itu.
Setelah kabar itu tersebar bagai api melahap dedaunan kering, segala pihak terkait dengan sigap melakukan tugas masing-masing. Pihak sekolah segera memulangkan para siswa. Polisi-polisi beserta tim penjinak bom menyisir area sekolahan, mengantisipasi jika masih ada pemicu ledakan untuk segera ditangani. Pun wartawan yang telah menunggu momen tentunya tidak tinggal diam.
Siang terik dengan seluruh hingar-bingar itu menyibukkan semua orang hingga meloloskan seorang wartawan ke ruang UKS. Di sana, di atas ranjang, Bu Kinan tengah menenangkan Anita yang sedang duduk tertunduk. Seluruh tubuh gadis itu gemetar.
Barulah ketika wartawan itu masuk, Anita mengangkat wajahnya. Bu Kinan sontak menelpon Pak Mus dan meminta pertolongan. Kepanikan yang dilanda Bu Kinan disebabkan dua hal. Pertama, adanya wartawan memasuki ruangan yang tidak boleh dimasuki selain, pihak kepolisian atau medis. Kedua, dibanding ketakutan, tatapan iris madu itu terlihat kosong dan hampa dengan segaris senyum tipis di bibir pucatnya.
~~~
"Anita ... Anita ...." Suara perempuan dewasa disertai jentikan jari, mengembalikan kesadaran Anita.
Gadis itu langsung tahu jika ia berada di rumah sakit saat melihat Indah duduk di sampingnya. Namun, di banding kamar inap seperti yang lalu, sekarang ini ia berada di ruang konseling psikologi. Ia sendiri berbaring di sofa tidur berwarna hitam. Terasa empuk dan membuat Anita ingin kembali memejamkan mata.
"Apa aku pingsan lagi?" tanya Anita.
Indah berpikir sejenak untuk menjawab pertanyaan Anita. "Ya, bisa dibilang seperti itu." Ia beranjak dari kursi menuju meja kerja untuk mengambil papan jalan. "Tapi, matamu tidak terpejam. Bahkan aku tak melihatmu mengedipkan mata."
"Pantas saja mataku terasa perih," batin gadis itu sambil mengerjap-ngerjapkan matanya dengan cepat. "Pingsan, tapi mataku gak tertutup? Emang bisa, ya?" sahutnya.
"Bisa, istilah medisnya dikenal sebagai sinkop vasovagal. Walau lumrahnya ketika orang pingsan, mata mereka akan tertutup," jelas Indah. "Bagaimana perasaanmu? Apakah ada sesuatu yang sakit?"
Anita memutar-mutar lengan dan merenggangkan otot-ototnya dengan santai tanpa ekspresi kesakitan. "Aku oke," ucapnya setengah tak yakin. Ia sendiri ragu, tidakkah seharusnya ia merasa pening atau nyeri?
"Baguslah jika seperti itu. Apa kamu siap dimintai keterangan oleh kepolisian?"
"Lagi? Tidak mau!" tolak Anita dengan tegas sambil mengepalkan kedua tangan. Baru saja gadis itu akan berceloteh tentang kekesalannya, tetapi teringat jika ia salah satu–lebih tepatnya satu-satunya–saksi kejadian ledakan itu sehingga mau tak mau, rela tidak rela, ia hanya bertanya tanpa menyembunyikan kekesalan dalam nada bicaranya. "Kapan mereka akan datang?"
"Mereka sudah ada di luar, jika kamu sudah siap, aku akan memanggil mereka." Indah mengusap punggung Anita dengan lembut untuk memberi dukungan. "Aku tahu kamu kesal dan lelah atas semua kejadian yang menimpamu akhir-akhir ini, tapi kamu harus memberikan kesaksian, setidaknya untuk temanmu yang telah tiada."
"Sebanyak apapun penjelasan yang kusampaikan pada mereka, pada akhirnya semua sia-sia." Anita makin terlihat murung. Ia memainkan jari-jemarinya seolah hanya itu pengalih perhatian agar tangis yang ditahan tidak tumpah ke permukaan.
Ya, Anita merasa semuanya sia-sia. Dari siaran berita yang mengikuti kasus ini, tidak pernah ada yang membahas perihal bunga kamboja itu. Bisa dipastikan tidak ada memercayai atau menutup telinga terkait kesaksiannya.
"Apa maksudmu?"