Apavarga

H.N.Minah
Chapter #21

20

Ketukan di pintu mengembalikan kesadaran Anita juga Indah yang merenung mendengar jawaban Bu Kinan. Setelah pamit dan berjanji akan menceritakan sudut pandang Anita–dengan kesepakatan akan menjaga rahasia ini–Indah memutus sambungan telepon Bu Kinan. Psikolog itu tersenyum paham saat seorang petugas polisi yang mengetuk pintu ruangannya.

"Apa saksi sudah sadar?" tanya polwan itu.

"Maaf, ini akan memakan waktu sedikit lebih lama. Pasienku baru saja sadar dan aku harus mengecek kondisinya. Mungkin lima belas menit?" Indah berusaha menegosiasi polwan itu guna membahas kilat temuan mereka.

"Baiklah." Polwan itu kemudian berlalu pergi dan melaporkan pada rekannya.

Kembali pada Indah dan Anita. Wajah tenang sang psikolog yang muncul saat berbincang dengan polwan itu, seketika luruh dan digantikan raut tegang. Tentu ini membawa tanya pada Anita.

"Kak Indah kenal Pak Arya?"

"Yah, tidak begitu kenal sih. Cuma lebih banyak dengar ceritanya dari Kinan," ucap Indah ragu sekaligus bingung. Ragu karena psikolog itu percaya jika Pak Arya orang yang baik. Juga bingung dengan motif Pak Arya melakukan ini semua. "Pertama kali ketemu juga cuma pas di ruang kepsek waktu itu. Kesannya juga tidak seperti seorang pembunuh berantai."

"Bu Kinan cerita apa tentang Pak Arya?" tanya Anita penasaran. Walaupun terbersit suatu pikiran di benaknya, tetapi setidaknya harus ia pastikan terlebih dahulu.

"Aduh, bukannya aku mau umbar gosip, ya. Apalagi Kinan temanku. Tapi, kamu pasti udah tau kalau laki-laki sama perempuan sama-sama lajang, pasti arahnya ke sana," jelas Indah berusaha tidak frontal.

"Mereka pacaran?" Pertanyaan Anita tepat menusuk jantung Indah, membuat psikolog itu langsung tersedak.

"Tidak, tidak! Mereka belum pacaran. Cuman dekat aja." Sontak saja Indah melambai-lambaikan tangannya dengan cepat. "Oke, kembali ke topik awal. Kamu yakin kalau pelakunya Pak Arya?" tanya Indah, mengalihkan pembahasan Bu Kinan-Pak Arya sebelum makin jauh.

"Bisa saja. Dari kasus pertama, sebagai seorang guru, Pak Arya memiliki akses yang lebih luas untuk menduplikat kunci ruang BK. Apakah meminjam milik Pak Majid atau malah pada Bu Dwi. Dengan itu, beliau bisa mengatur seolah-olah Bu Dwi bunuh diri. Kasus kedua, beliau juga dengan mudah memanggil Nuril ke tempat yang tak ada orang, membiusnya kemudian menenggelamkannya di kolam. Kasus ketiga, saat itu aku mendapati Kak Yuni menghadap ke arahku dengan senyuman, seolah ia pasrah dan membuang dirinya. Asumsiku, Pak Arya tidak secara langsung mendorong Kak Yuni, tetapi lebih ke motivasi untuk melakukan itu," jelas Anita sambil berjalan-jalan mengitari ruangan konseling. Gadis itu menekuk kedua jari telunjuk dan tengahnya ketika mengucap kata motivasi, sebagai isyarat makna tersirat dari ucapannya.

"Lalu, bagaimana dengan kasus terakhir?"

"Pengaturan. Bisa saja beliau meletakkan bom di lab dan menyuruh Mario ke sana. Percaya atau tidak, ketika menuju lab aku sempat berpapasan dengannya." 

Namun, meskipun sudah mengeluarkan unek-uneknya dan Indah hanya manggut-manggut mendengarkan, Anita masih merasa ada yang terlewatkan. Jika memang Pak Arya pelakunya, mengapa beliau menarget murid secara acak? Lalu apa motifnya melakukan semua ini?

Biasanya Anita mengutarakan pemikirannya yang telah terpendam lama hanya pada Candra. "Bicara tentang Candra, di mana ya dia?" batin gadis itu. 

Indah baru saja akan mengatakan sesuatu ketika ketukan dari pintu kembali menginterupsi. Tampaknya, ia tidak bisa mengulur waktu lebih lama lagi. Jadi, psikolog itu mempersilakan para petugas untuk melakukan sesi mereka dan memberikan privasi pada mereka. Tentu dengan persetujuan Anita terlebih dahulu.

~~~

"Terima kasih atas kerja samanya." Petugas yang meminta kesaksian Anita merapikan catatan dan menjabat tangan gadis itu. "Kami akan memanggil pihak-pihak yang terlibat atas kejadian itu. Selamat istirahat."

Anita hanya mengangguk pelan sembari menunggu Indah di dalam ruangan. Ia melihat pakaian sekolah yang melekat di tubuhnya dipenuhi debu dan noda. Perasaan lelah yang luar biasa membuatnya ingin segera pulang ke rumah, membersihkan diri kemudian tidur. Syukur-syukur mendapati mamanya jika beliau tidak lembur. Namun, besar kemungkinan hanya ada kekosongan di rumahnya. Tak apa, ia juga sudah terbiasa.

Ketika Indah masuk, Anita segera menghampiri psikolog itu. Ia sedikit kaget saat mendapati tasnya ada di tangan Indah. Dia bahkan sampai lupa keberadaa ransel abu-abu itu.

"Ini tasmu, seorang petugas membawanya dari sekolah," ucap Indah seraya menyodorkan ransel Anita yang langsung disambut. "Apa kamu ingin pulang?" Mendengar kejadian yang dialami Anita, Indah sangat mengerti jika gadis itu butuh istirahat total.

"Apa aku masih harus di sini?" tanya Anita, berharap segala sesi-sesian untuk hari ini sudah selesai.

Lihat selengkapnya