Dari wastafel dapur, Anita masih memandang bunga kamboja yang tergeletak di antara hamburan buku dan isi tas lainnya. Di tangan kanannya yang gemetar sebuah pisau senantiasa siap dihunuskan pada sesuatu mengancam nyawa. Napasnya sudah kembali stabil, tetapi peluh masih mengucur dari pori-pori.
Anita menarik napas dalam-dalam kemudian mengembuskannya perlahan. Padahal ia sudah merencanakan akan mandi air hangat setelah makan lalu pergi tidur. Namun, bayangan itu harus ia buang jauh-jauh.
Gadis itu melirik penampilannya dan mendesah pelan. Perasaan lengket dan penuh debu hampir terasa di sekujur tubuh. Walau begitu tampaknya ia harus menunggu keadaan benar-benar aman baru bisa mengurus penampilan.
Bunyi ketukan di pintu rumah juga teriakan yang memanggil namanya membuat gadis itu tersadar dari pikiran-pikiran buruknya. Setengah berlari, Anita hampiri satu-satunya pembatas antara dirinya dengan orang di luar rumah. Namun, semakin mendekati pintu, suara obrolan makin terdengar jelas. Meskipun begitu, Anita tidak khawatir untuk langsung membuka pintu.
Tak menyangka akan adanya tubrukan dari depan sedikit mengejutkan Anita. Pun tersadar kalau ia belum sempat bersih-bersih, Anita berusaha menjauhkan gadis yang memeluknya itu. Namun, bukannya merenggang, gadis itu malah makin merapatkan pelukannya. Pasrah, Anita hanya merentangkan tangan agar gadis di pelukannya tidak menjadi korban dari ketajaman pisau.
Anita juga mendapati tatapan khawatir dari Candra dan seperti biasa Ryan yang cengar-cengir santai. Kedatangan ketiga temannya itu seketika meluruhkan seluruh ketakutan tanpa menyisakan setitik pun, membuat pandangannya kabur oleh air mata.
"Kamu baik-baik aja, kan?" tanya Candra.
"Ya, sejauh ini."
Raya melepaskan pelukannya dan ikut tersenyum. "Syukurlah. Kami sedang di rumah Candra ketika kamu menelpon. Daripada pergi sendirian mending kami temani."
"Ya, aku juga tak enak jika harus mendatangi rumah seorang gadis sendirian," tutur Candra seraya menggaruk belakang kepalanya.
"Mana udah malam, nanti timbul fitnah lagi," celetuk Ryan.
Anita mengangguk paham mendengar penjelasan teman-temannya. Bagi gadis itu, kedatangan mereka saja sudah menjadi kesyukuran.
"Jadi, di mana bunga itu?" tanya Candra.
Anita segera membawa mereka masuk hingga ke dapur. Menampakkan kondisi terakhir dengan fokus penglihatan pada setangkai bunga kamboja. Mereka bertiga berjalan mendekat. Sementara Anita, terdiam mematung di belakang. Seakan bunga itu saja mampu membangkitkan trauma mendalam di hati Anita.
"Kenapa bisa ada di tasmu?"