"Sekolah!" seru Anita dengan tatapan nyalang. Seakan menyadari sesuatu yang buruk akan terjadi. "Kita harus ke sekolah sekarang!" Gadis itu segera beranjak ke kamar untuk mengambil sweter dan ponselnya di dapur.
Ketiga orang lainnya sontak mengangguk setuju. Mereka sempat menyesap teh masing-masing kemudian ikut bergegas. Padahal Candra sendiri masih ingin menikmati teh buatan Anita. Namun, semua berjalan serba cepat. Tehnya pun belum dingin. Bahkan melupakan sesuatu yang sangat penting.
Kini mereka tengah di dalam mobil yang dikendarai Ryan. Masing-masing lainnya memantau siaran langsung di akun Delia. Terlihat gadis itu menyandarkan ponselnya menggunakan sesuatu di tempat agak jauh sehingga seluruh tubuhnya terlihat dari ujung kepala hingga kaki.
Gadis itu juga meletakkan senter di samping ponsel dan menyorot seluruh tubuhnya. Sekarang terlihat jelas jika bukan hanya riasan Delia yang membuat orang-orang pangling, tetapi gaun putih selutut yang dikenakannya juga terlihat menawan.
"Halo, semua!" sapa Delia sedikit berbisik sambil melambaikan tangan dengan penuh semangat ke arah kamera. "Kalian pasti bertanya-tanya mengapa aku yang selalu terlihat membosankan tiba-tiba full make up dan memakai gaun. Warna putih lagi! Lihat, lihat, di kepalaku juga ada veil! Pasti kalian bisa menduga atau malah gak tau sama sekali?! Oke, biar aku ceritakan!" Delia bermonolog. Juga bersedekap sambil mencubit dagu seakan ikut memikirkan sebab ia melakukan itu semua.
Tiba-tiba Delia berjongkok dan mendekatkan ponselnya di depan wajah. Membuat penonton seperti Anita ikut kaget. Walau riasannya cantik, tetapi karena atmosfir sekitar dan cahaya yang sangat kurang membuat bulu kuduk Anita meremang. Ditambah ekspresi janggal di wajah Delia.
"Jadi, aku sedih banget ditinggal pangeranku," ucap Delia penuh kegetiran. Bibirnya melengkung ke bawah dan ia mengusap sudut matanya. Namun, dalam sepersekian detik, ia berubah semangat dan tertsenyum lebar. "Padahal aku udah bahagia banget lo waktu Si Mak Lampir itu meninggoy, sampai otaknya luber-luber ke tanah waktu terjun dari lantai tiga. Rasain!" cerocosnya yang di akhiri tawa bahagia.
Anita tampak berpikir. "Kalau cewek meninggal yang dimaksud Delia itu Kak Yuni, berarti pangeran yang dia maksud itu–"
"Yap, benar. Pangeran yang kumaksud itu Mario Yudhasthala."
Ucapan Anita dipotong oleh Delia dengan tepat sasaran. Seolah mereka mengobrol dalam panggilan video.
"Cowok berbakat yang senyumnya membuatku meleleh. Duuh, menyebut namanya saja membuatku merinding," ucap Delia seraya memeluk tubuhnya sendiri dengan gemas. "Pangeran Marioku tuh gak level sama Si Mak Lampir kecentilan itu. Beda jauh banget!"
"Aku nggak nyangka Delia bakal kayak gini," sahut Raya sedih dari kursi depan.
Anita menggeser tubuhnya ke depan dan mengelus pundak gadis cantik itu dengan lembut lembut. Merasa kasihan sebab bagaimanapun, Delia masih teman satu ekskul Raya.