Anita menyandarkan kepala di kaca mobil yang melaju lumayan cepat. Melihat jalanan dan pepohonan yang seolah berlari menjauh. Gadis itu melihat jam di mobil yang sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Pantas saja hanya tersisa satu-dua kendaraan yang lalu lalang di jalan. Paling-paling mobil truk bermuatan penuh yang sesekali membunyikan klakson bernada mereka.
Pun rasa kantuk yang menyerang setelah pancaran adrenalin mereda. Namun, keinginannya untuk tidur tidak lebih besar dibandingkan emosi yang sejak meninggalkan sekolah terus mengusik hati dan pikiran. Untungnya aroma teh segar yang menguar dari pengharum mobil membuat Anita lebih rileks.
"Udah, tidur aja, daripada kamu tahan-tahan terus," ucap Candra tanpa mengalihkan pandangan dari jalan.
"Maunya sih gitu. Tapi, mataku gak bisa tertutup," balas gadis itu seraya menengok Anggita yang sudah tertidur pulas di kursi tengah. "Kamu sendiri nggak ngantuk?" Walau mengetahui jawabannya, Anita tetap takjub pada Candra sebab masih terlihat segar setelah semua yang terjadi hari ini.
Candra sendiri sudah terbiasa bergadang hingga larut malam. Berbeda dengan Anita yang harus tidur tidak melewati pukul sepuluh malam. Kalau lewat bisa-bisa ia ketiduran dan tidak masuk sekolah. Jadi, bisa dipastikan setelah sampai rumah, gadis itu akan melampiaskan rasa kantuknya dengan tidur hingga siang hari.
"Kalau aku ngantuk, kamu mau gantiin bawa mobil?" gurau Candra dengan senyum kecil di bibir.
"Boleh juga, tapi aku nggak mau tanggung jawab sama Si Kembar kalau mobilnya rusak," ucap Anita percaya diri.
Seakan salah dengar, Candra bertanya ulang. "Tanggung jawab sama siapa?"
"Ryan." Anita berpikir sebentar. " Atau Raya mungkin?"
"Ngapain tanggung jawab ke mereka. Ini kan mobilku." Candra berbelok dengan mulus di sebuah perempatan yang memasuki komplek perumahan Anggita.
Anita ber-oh penjang. "Lalu, kenapa bukan kamu yang bawa pas kita ke sekolah tadi?"
"Soalnya Ryan lebih jago ngebut dibanding aku." Candra berhenti di depan sebuah rumah yang tampak asri dengan tanaman-tanaman rimbun di sekitar pekarangan. "Oke, ini rumahnya Anggita, kan?" tanya Candra seraya berbalik ke belakang melihat penumpang lainnya.
"Kayaknya sih, iya. Bentar, aku bangunin dulu." Anita keluar sebentar kemudian membuka pintu tengah. Gadis itu menepuk pipi Anggita perlahan. "Git, bangun. Kita udah sampai rumah kamu."
Belum ada tanggapan sampai Anita mengguncang bahunya. "Ah, ya. Maaf aku ketiduran lagi, ya." Anggita bangun dari rebahannya lalu mengucek mata. Ia melihat ke sekeliling dan merasa familiar dengan lingkungan sekitar.
"Makasih, ya. Kalian sampai repot anterin aku sampai rumah," ucap Anggita. Sebisa mungkin ia mengukir senyum di bibirnya. Namun, semua peristiwa yang menimpa teman-temannya membuat senyum itu terlihat getir.
"Iya, santai aja. Kita kan teman," ucap Candra di balik kursi pengemudi.
"Bener. Kalau kamu butuh bantuan hubungi kita aja, oke!" Anita berusaha menghibur temannya itu.
Mendengar ucapan Candra dan Anita memicu secuil kesedihan di hati Anggita. Tak ingin air matanya jatuh dan membuat mereka khawatir, Anggita segera turun dari mobil.
"Rumahmu kok sepi?" tanya Anita merasa janggal sebab dari tadi tak ada seorang pun yang keluar dari rumah Anggita.