Anita masih mematung di tempatnya berdiri. Namun, sebuah pemikiran melintas di kepala. "Oh, mungkin saja bunga itu jatuh dan ditiup angin hingga ke bawah kursi."
Pelan tetapi pasti. Anita mengunci pintu rumah dan langsung menuju dapur. Ia mengamankan sebilah pisau di tangan jika ada sesuatu yang mengharuskannya melawan. Sebelum kembali ke tempat terakhir bunga itu berada, Anita memeriksa kembali pintu dan jendela. Siapa tahu ia mendapatkan tanda-tanda kerusakan.
Masih teringat di ingatannya ketika ia pertama kali mengeluarkan bunga itu dari dalam tas. Bunga kali ini berbeda lagi warnanya. Jika sebelum-sebelumnya berwarna biru muda, biru tua dan bahkan hitam, bunga yang ini malah berwarna sian atau biru kehijauan.
Namun, bagaimanapun ia mencari di bawah meja juga di bawah kursi, hanya ada kekosongan di sana. Anita termenung sebentar. Jika bunga itu tak ada di sini lantas siapa yang mengambilnya?
Rasa takut seketika menjalar ke seluruh sel-sel tubuh Anita. Menyalakan sinyal bahaya yang meraung keras di kepala. Sebilah pisau makin kuat di genggaman dan tak akan terlepas dalam waktu dekat. Apa pun yang terjadi.
Waktu menunjukkan setengah empat dini hari dan gadis itu masih terjaga. Keheningan yang mencekam hanya dipecah oleh suara denting jarum jam. Sekali dua kali, mata Anita tertutup akibat kantuk. Namun, sadar dirinya dalam bahaya, ia berusaha kembali melek.
Barulah ketika radio masjid berbunyi, menandakan waktu akan memasuki subuh. Anita tak bisa lagi menahan kantuk luar biasa yang menyerangnya. Saat itu pula, ia melihat mamanya menghampiri dirinya.
Dengan sisa-sisa kesadaran terakhir, Anita menyembunyikan pisau di balik tubuhnya sebab tak ingin mamanya khawatir. Akhirnya, setelah petualangan yang panjang hari itu, Anita bisa tertidur dalam damai.
~~~
Bunyi klakson dan suara tawa keras di depan rumah membangunkan Anita dari tidurnya. Hal pertama yang ia cek adalah keberadaan sebilah pisau di belakangnya. Masih ada. Berarti mamanya tidak sempat lihat.
Hal kedua ialah keberadaan mamanya. Namun, melihat jarum jam yang sebentar lagi menunjukkan pukul sepuluh, Anita merasa yakin jika mamanya sudah pergi. Gadis itu sebenarnya cukup sedih mengingat ia butuh teman cerita akan semua peristiwa yang terjadi belakang ini.
Anita ingin kembali melanjutkan tidur. Melampiaskan kantuk yang menyerang, tetapi dorongan untuk mengecek ponsel nyatanya lebih besar. "Sebentar saja," batin gadis itu. Lagi pula masa belajar mengajar di sekolah akan diliburkan entah sampai kapan. Ia akan memiliki banyak waktu senggang.
Alhasil sebentar saja yang dimaksud berubah menjadi beberapa menit terus bertambah hingga sejam terlewat tanpa Anita sadari. Alasan yang membuat gadis itu anteng tak lain dan tak bukan karena grup angkatan juga grup kelas ramai oleh kabar Delia yang sudah tersebar sejak subuh tadi.
Ada yang menduga siaran langsung semalam hanyalah perbuatan jahil. Ada pula yang ketakutan dan merasa trauma. Ada juga malah mempertanyakan siapa Delia yang sedang dibicarakan. Sampai-sampai ada yang merasa bahagia karena mereka kembali diliburkan.
"Bahkan Delia yang jelas-jelas termasuk dalam anggota ekskul terkenal masih ada yang tak mengenalnya, bagaimana denganku, ya? Paling cuma jadi angin lalu," batin Anita sedikit tersesak. "Tapi, amit-amit deh, semoga nggak kejadian!"