Anita menatap sekeliling ketika Pak Mus memberikan wejangan di depan sana. Mencari seseorang yang tadi masih bersamanya. Aula sekolah yang biasanya sunyi, mendadak ramai dipenuhi para siswa dan guru. Anita tidak berekspektasi demikian sebab penyampaiannya yang sangat dadakan dan baru disebar tadi pagi.
"Terima kasih kepada Ananda tercinta yang masih setia untuk hadir di tempat ini. Di antara kemelut kejadian yang menimpa sekolah kebanggaan kita akhir-akhir ini," ucap Pak Mus dengan pelan.
Setiap kali Anita melihat Pak Mus, ada kesedihan yang mencubit hatinya. Wajah ramah kepala sekolah itu seakan tergerus dengan kelelahan yang amat sangat. Membuat pemiliknya yang sudah tua, tampak jauh lebih tua.
Para guru juga teman-teman yang lainnya pun seperti itu. Hanya ada satu dua orang yang masih bisa mengobrol sesuatu dan tertawa di kursi masing-masing. Seakan beberapa minggu ke belakang ini membawa petaka yang tak terhindarkan.
"Terima kasih juga kepada jajaran kepolisian dan tim medis yang dengan sigap menolong anak didik dan tenaga pendidik kami." Pak Mus menarik napas panjang. "Besar harapan kami agar peristiwa serupa tak lagi terjadi di sekolah tercinta ini."
Setelahnya Anita tak lagi fokus memperhatikan penyampaian Pak Mus disebabkan ponselnya terus berdering. Ternyata ada panggilan dari Anggita. Merasa tak enak mengangkat telepon di tempat, Anita meminta jalan untuk segera keluar.
Gadis itu baru akan mengangkat telepon ketika sebuah tarikan mengagetkannya. Hampir saja ia memukul si pelaku. Namun, karena refleks Anita yang lebih cepat membuat tangannya terhenti udara.
"Astaga, Can! Kamu ngagetin banget tau!" bentak Anita kesal. "Kamu dari mana aja sih?! Dari tadi aku nyariin kamu!"
"Ya, maaf soalnya aku khawatir kamu pergi sendirian. Tau sendiri kan kondisi di sekolah gimana," jelas Candra dengan nelangsa. Sudut bibirnya tertekuk ke bawah membuat lelaki itu tampak kekanakan. "Padahal dari masuk aula aku duduk pas di belakang kamu."
"Kenapa nggak panggil aku? Aku kan nggak liat."
Akibat pertengkaran kecil mereka, panggilan di ponsel Anita terhenti tanpa sempat dijawab. Khawatir akan kondisi Anggita, Anita kembali menghubungi teman sekelasnya itu.
Dering yang panjang semakin lama semakin membuat dada Anita seakan terhimpit tembok besar. "Semoga tidak terjadi sesuatu pada anak itu," mohon Anita dalam hati.
"Kenapa?" tanya Candra. "Kamu telpon siapa?"
"Anggita, barusan dia nelpon aku," gumam Anita. "Kamu ada liat dia tadi?"
Candra menggeleng sebagai jawaban. Lelaki itu berpikir sebentar lalu berkata, "Mungkin aja dia baru sampai sekolah dan cari teman buat ke aula. Biasanya cewek-cewek kan gitu."
"Kalau gitu kita ke kelas, yuk, cek dia," ajak Anita.