Anita menatap kepergian mobil ambulans yang membawa jenazah Pak Majid. Masih terngiang di ingatan akan obrolan mereka tadi pagi. Gadis itu mengederkan pandangan dan mendapati teman-teman juga guru-guru terisak sedih.
"Bapak salah. Bapak tidak sendiri. Ada banyak orang yang peduli sama Bapak," batin Anita pilu.
Anita juga sempat menitikkan air mata, tetapi amarah yang amat sangat lebih menguasai hatinya saat ini. Seorang pria dewasa tertunduk di dalam mobil patroli. Seseorang yang disinyalir sebagai pelaku seluruh kejadian mengerikan di sekolah itu.
Terus-terusan ditatap membuat Pak Arya memandang balik Anita dengan tatapan kosong lagi hampa. Bagai gerakan lambat, suara sirene yang mengaung nyaring tak lagi terdengar.
Orang-orang yang sibuk ke sana ke mari seakan menghilang dan seluruh fokus gadis itu hanya pada Pak Arya. Seketika mata Anita membola ketika melihat seringai menyeramkan di wajah guru olahraga itu.
"Hey!" Candra menepuk bahu Anita yang membuat gadis itu tersentak.
Tersadar dari lamunannya, mobil patroli yang membawa Pak Arya sudah berbelok jauh di depan sana. Anita menghapus bulir keringat yang mengalir hingga dagu dan memandang Candra dengan tatapan tanya.
"Nih." Candra menyodorkan sebotol air mineral pada Anita. "Kamu kelihatan pucat. Habis nahan bapak-bapak emang bikin capek sih!" Candra memutar-mutar tanggannya merenggangkan otot ketika Anita menerima pemberiannya.
Sebenarnya, gadis itu jauh merasa lelah karena tidak bisa melampiaskan emosi di hati dibandingkan membekuk Pak Arya tadi. Anita juga merasa Pak Arya menahan kekuatannya. Andai saja guru olahraga mereka itu mau, bisa dipastikan ia dan Candra tidak mampu menahannya.
"Aku nggak habis pikir, apa alasan Pak Arya sampai tega membunuh mereka semua?!" seru Anita.
"Kita bisa tanyakan itu nanti. Atau mungkin melalui rilis di berita jika olah TKP sudah selesai," jawab Candra.
Para guru memulangkan siswa-siswi yang masih berkeliaran di sekitar sekolah. Akibat kejadian itu, acara perpisahan yang akan dirangkaian doa bersama berakhir batal. Pak Mus, yang mengharapkan kesuksesan acara menjadi makin sedih.
Gadis itu sempat melihat kepala sekolahnya sesenggukan tak bersuara. Bahkan Pak Mus tak sudi melihat wajah Pak Arya ketika guru olahraga itu digiring ke kantor polisi.
Anita memandang seorang polwan berjalan mendekat setelah selesai mengobrol dengan Pak Mus yang menunjuk ke arah mereka. "Lagi dan lagi," batin gadis itu jenuh.
"Halo," sapa polwan bernama Lisa dengan senyum tenang. "Anita dan Candra benar?"
Anita hanya mengangguk sebagai jawaban. Ia ingin balas tersenyum juga, tetapi rasanya sangat berat. Jadi, ia hanya menggigit-gigit bibir. Sementara Candra menjawab dengan singkat. "Ya."
"Kami tahu kalau Adik sudah lelah dengan semua ini. Kami juga berharap semoga ini terakhir kali kami meminta keterangan Adik terkait kasus ini."
"Ya, saya sangat mengharapkan hal itu juga," ucap Anita. "Dan untuk pelaku, hukum dia seberat-beratnya."