"Anita Sayang, hari ini kita pergi jalan-jalan bareng, ya?" Suara wanita dewasa terdengar dari dapur menghentikan aktivitas gadis kecil yang sedang duduk menonton televisi sendirian.
Gadis kecil itu beranjak dari karpet yang menjadi alas duduknya dan menuju sumber suara. Ia mendekati seorang wanita dewasa dengan dandanan rapi. Mulai dari riasan wajah, blazer hitam dipadukan blus biru muda, juga celana bahan berwarna hitam. Tak ketinggalan sepatu pantofel mengkilap yang tampak serasi dengan atasannya. Juga tas kulit yang tampak mentereng.
Dari tampilannya, wanita dewasa itu sudah siap berangkat. Sebelum meninggalkan dapur kecil itu, ia memoles bibirnya dengan lipstik merah marun yang membuat wajahnya makin cerah.
"Anita Sayang, hari ini kita ketemu teman-teman Mama, ya?" ucap wanita itu ceria. Ia berjalan melalui gadis kecil yang terus menatapnya dengan iris cerah berwarna madu.
Gadis itu terlihat dekil dengan baju yang kedodoran dan rambut acak-acakan. Tak sedikit cemong dan kotoran yang menempel di kulit. Pun matanya terus mengikuti arah wanita dewasa itu berjalan.
"Anita Sayang, nanti kalau ketemu teman Mama, kamu jangan nakal, ya?"
Wanita dewasa itu menganggukan kepala boneka di gendongannya kemudian tertawa lepas. "Anak pintar, anak baiknya Mama." Kemudian memeluk boneka bergaun merah muda itu dengan gemas.
Anita kecil yang memperhatikan seluruh gerak-gerik mamanya hanya bisa termenung. Seandainya semua perlakuan itu bisa dirasakannya.
Ia juga mau dipanggil 'Sayang' oleh mamanya. Ia juga mau dibelai dengan lembut oleh mamanya. Ia juga mau dipakaikan gaun-gaun indah dengan sepatu berkilauan. Ia juga mau diajak jalan-jalan oleh mamanya. Ia juga mau dikenalkan ke teman-teman mamanya. Ia mau semua itu.
Namun, itu semua hanya ada di masa lalu Anita. Gadis kecil itu melihat bajunya yang sangat lusuh. Entah kapan terakhir kali ia menggantinya. Itu pun setelah ia mencari-cari di gudang.
"Ngapain kamu di situ, Bocah Tengik?" bentak pria dewasa bertelanjang dada yang baru keluar dari dalam kamar. Ia menguap besar seraya menggaruk perutnya yang gempal. Aroma khas minuman keras seakan menguar bersamaan napasnya yang berat.
"Minggir!" Pria dewasa itu menyentak Anita dengan kasar sebab menghalangi jalannya ke dapur. Mendapat tarikan yang tak terbendung tubuh kecilnya, Anita terhuyung dan jatuh menabrak tembok.
Di sana, pria dewasa itu meraba-raba atas kulkas dan mendapati dua batang rokok. Sebuah korek yang selalu ada di kantung celana dengan sigap dipantik untuk menyalakan rokok. Ia menghisap kuat-kuat dan mengembuskannya tepat di wajah Anita.
Tanpa mengasihani gadis kecil yang terbatuk-batuk, pria dewasa itu mencengkeram wajah Anita dengan tangan kasarnya. "Buatkan kopi!"
Pria dewasa itu akan melangkah ke halaman rumah ketika mendengar Anita bersuara. "Baik, Pak."
Sontak pria itu berbalik dan berkacak pinggang. "Pak?! Emang aku Bapakmu? Ke kuburan sana kalau mau ketemu Bapakmu!" Tawanya menggelegar seolah mendapat lelucon paling lucu di hidupnya. "Dasar bodoh! Cepet bikin kopinya! Awas kalau lama, dapat kamu nanti!" Tanpa merasa bersalah, pria itu meninggalkan Anita dalam kesedihan yang memilukan.
Meski tubuhnya masih sakit, Anita segera bergegas membuat kopi untuk ayah tirinya. Tenggorokannya terasa perih seakan ada sesuatu yang mengganjal di dalam sana. Namun, bahkan air matanya sudah tak pernah menetes setelah semua perlakuan orang tuanya. Ia sadar, diizinkan berasa di dekat mamanya saja sudah membuatnya bersyukur.
~~~
Anita terbangun ketika mendengar teriakan mamanya. Ia yang sedang terlelap di pojokan dapur mengintip ke arah ruang tamu. Di sana, terlihat ayah tirinya membombardir mamanya dengan pukulan-pukulan acak. Walau ia yakin suara mamanya terdengar hingga ke luar rumah. Namun, tak ada yang berani menghampiri sebab ayah tirinya akan sigap mencelakai orang itu.
"Ampun, Pa, ampun," isak mamanya sambil melindungi kepalanya juga sesuatu dalam dekapannya. Sesuatu yang diketahui Anita sebagai boneka pengganti dirinya.
"Gila kamu! Ngapain kamu bawa-bawa boneka keluar, hah? Segala nongkrong lagi! Banyak uang kamu, ya?!" bentak ayah tirinya. Pria gempal itu jongkok di depan wanita dewasa yang sudah babak belur. "Gini-gini, aku jelasin. Kalau kamu pergi nongkrong sampai malam, otomatis kamu nggak pergi kerja, kamu juga ngabisin duit kan bareng teman-temanmu. Nah, aku makan apa dong kalau gitu? Kamu mikir nggak sampai sana?"
"Iya, maaf, Pa, maaf." Mama Anita hanya bisa berlutut seraya memohon maaf pada suaminya.
"Maaf-maaf, emang maaf jadi duit?! Mending kamu ngelacur sekalian biar ada duit," hardik pria itu. "Kamu mau aku posting di aplikasi BO?"
"Jangan, jangan!" pinta mama Anita dengan isak tangis. "Ak ... aku ada uang, kamu pakai itu aja!"
Ketika mendengar kata uang, wajah ayah tirinya seketika berubah cerah. "Nah, gitu dong! Kalau pergi nongkrong pulangnya tetap bawa duit!" serunya seraya menengadahkan tangan penuh percaya diri.