Di waktu orang-orang tertidur nyenyak, dengan suasana sepi dan tenang, Anita mengemas barang-barangnya. Isak tangis yang berusaha ditahan tak juga berhenti hingga matanya terasa perih.
Dalam kegelapan malam, Anita meninggalkan rumah yang menjadi satu-satunya tempat ia pulang. Tak bisa berlama-lama mengenang saat-saat keluarganya masih utuh. Sekali lagi, ia harus mengubur kembali ingatan itu.
Seperti pesan Candra, ia harus pergi sebelum orang-orang itu datang. Anita tak bisa menyia-nyiakan semua pengorbanan yang dilakukan Candra dan juga teman-temannya. Berbicara tentang teman, ia masih tak habis pikir orang yang dianggapnya sahabat ternyata hanyalah mesin pembunuh.
Anita menyusuri jalan seraya menyeret koper dan sebuah ransel di punggung. Jalanan yang lengang membuat perasaannya begitu kalut. Antara takut jika ia tertangkap oleh orang suruhan organisasi itu atau malah celaka di tangan preman-preman yang mungkin saja berniat buruk padanya.
Gadis beriris madu itu baru menghela napas lega ketika mendapati minimarket yang buka 24 jam. Anita mengambil minuman dingin dan meneguknya di tempat sebelum ia sempat membayar. Juga sebungkus roti yang sudah ada di gendongannya. Pandangan gadis itu sempat bersirobok dengan seorang staf yang sedang mengatur barang.
"Maaf, saya bisa pinjam ponsel Kakak buat nelpon?" tanya Anita pada kasir yang sedang memindai belanjaanya.
Kasir yang bernama Sandy itu sontak mengamati Anita dari ujung kaki hingga pucuk kepala. Merasa tak ada keanehan, kasir itu merogoh kantung celana dan memberikan ponselnya.
"Terima kasih," ucap Anita penuh rasa syukur. Ia segera menghubungi nomor pada kartu nama yang diberikan Candra dan berjalan agak jauh dari pemilik ponsel.
Tak butuh waktu lama, nada sambung berubah menjadi sapaan bernada berat. "Halo."
"Maaf mengganggu istirahat Anda." Anita melihat nama di kartu itu. "Pak Sanjaya. Saya Anita dan saya butuh pertolongan Bapak."
"Kamu di mana?" tanya Pak Sanjaya yang disertai suara grasak-grusuk di seberang sana.
"Minimarket dekat perumahan." Ada getaran halus di suara Anita saat menyebut lokasinya. Ia sampai celingak-celinguk dan merasa lega ketika kasir itu tampak cuek dengan pada dirinya.
"Oke, kamu tunggu di situ. Jangan ke mana-mana," pesan Pak Sanjaya kemudian mematikan sambungan.
Anita mengembalikan ponsel Sandy seraya menyerahkan selembar uang lima puluh ribu. "Terima kasih, kembaliannya ambil aja buat ganti pulsa Kakak."
"Iya, sama-sama, Dek."
"Maaf, Kak, saya bisa numpang toilet?"
"Iya, bisa. Masuk aja di ruangan itu," ucap Sandy seraya menunjuk pintu di balik rak etalase.
Anita berlalu bersama barang bawaannya. Di dalam toilet ia berusaha menenangkan diri. Entah mengapa perasaan kalut di hatinya tak kunjung pergi seakan siap menerkam dirinya saat ia lengah.