APEIRON: Latar Para Kausa

Miftachul Arifin
Chapter #2

PROLOG

Apeiron dijaga ketat oleh beragam kelompok. Kausa salah satunya. Sekumpulan berjumlah tujuh anak hingga remaja dengan masing-masingnya memegang peran elemen dasar unsur alam berbeda-beda. Namun, anak-anak ini tidak serta merta hanya memiliki kekuatan elemen alam. Mereka pun lahir, hidup, dan tumbuh besar dengan semacam kelainan (bila boleh disebut demikian). Di samping berhadapan dengan lingkungan hidup di Bumi mereka sendiri-sendiri yang bermasalah pula. Tak pelak bila anak-anak ini selalu perlu sesosok pendidik, pembimbing, dan pengajar untuk menyampaikan baik dan buruk, benar dan salah. Walau ia pun bukanlah entitas yang sempurna.

Para Kausa menjalani kehidupan keras mereka masing-masing sebelum bertemu sang guru. Mulai dari menjadi penyembuh keliling, merasakan siksaan dari eksperimen manusia, hampir tenggelam di “lautan” (awan) hingga latihan berani mati ala assassin, berjalan seorang diri mengelilingi dunia dengan kemampuan yang dieksploitasi, berada di ambang hidup dan mati demi menyelamatkan hutan, menjadi pemburu bayaran dan memburu apa pun sesuai misi yang diberikan demi uang, serta mengalami perundungan verbal dan fisik sampai-sampai harus berpisah dari kehadiran sosok seorang ibu.

Wajar bila kemudian mereka bertujuh menjadi anggota aliansi paling tahan banting di medan laga kelak. Selain orang-orang nomor satu dari setiap kelompok lain, hanya mereka bertujuh yang pernah melalui sadisnya neraka dunia sejak usia anak-anak. Namun, perlu diingat bahwa peran besar dan tanggung jawab Kausa bukan semata menjadi bagian dalam peperangan orang lain, melainkan penjaga. Kausa hidup dan membawa kekuatan masing-masing karena mengemban tugas untuk menjaga pilar-pilar penyangga Semesta Alternatif. Pilar-pilar yang kian berjalannya waktu terancam oleh keberadaan sekelompok keluarga.

Sayangnya, para Kausa sama sekali belum matang sebagai kelompok anak-anak atau remaja dengan beban besar semacam itu. Hidup mereka saja sudah sulit, bagaimana mungkin tiba-tiba harus menjaga dan melindungi tiang penopang jagat satu semesta. Perjuangan mereka bahkan sudah harus dimulai sejak dari lahir. Derita mereka sudah mesti dihadapi dari lingkungan sekitar. Kehadirannya tak dianggap ada sebagai salah satu anggota oleh keluarga kandung sendiri. Ditinggalkan teman-teman senasib dan seusia karena ketamakan seorang manusia. Bertekad menaklukkan ujian bunuh diri karena terlahir “berbeda”. Kehilangan rasa percaya karena hidup sekadar dimanfaatkan, tetapi tak diacuhkan mengenai perasaan pribadinya dan terus dipaksa menuruti permintaan orang-orang lain. Sudah menjadi pewaris takhta untuk melindungi satu Bumi sejak masih bayi. Dibuang, diabaikan, dianggap najis, kotor, aib, hina, hanya karena telah lahir ke dunia. Mendapat diskriminasi, cercaan, dan sumpah serapah dari warga hingga anak-anak mereka, karena miskin, tinggal di pelosok, dan dipandang punya keanehan.

Ketujuh Bumi punya latar masing-masing ihwal geografis, demografis, serta lingkungan sosial bermasyarakat. Para Kausa pun mesti lulus dari ujian pertama mereka di sini bila ingin melangkah ke perjalanan berikutnya. Namun, setiap perjumpaan selalu diikuti perpisahan. Tak terkecuali ketujuh Kausa, seistimewa apa pun eksistensi mereka. Perpisahan yang tak mengizinkan pertemuan kembali sama sekali. Meski cerita tidaklah berhenti di sana tentu saja. Ingatan yang diwariskan juga turut menyertai mereka. Sendu, senang, harsa, tangis, tawa, canda, senda gurau dan hiruk pikuk manusia. Boleh jadi bakal banyak mengasihani dan berempati kepada mereka. Kendati tetap perlu ingat akan satu hal, bahwa setiap yang tampil baik tak sepenuhnya baik. Begitu pula sebaliknya, setiap yang tampak buruk tak semuanya buruk. Sekali lagi, mereka dan kita semua ialah manusia. Bukan entitas rekayasa genetika dengan pelbagai percobaan kimia. Bagaimana jalan yang diambil kemudian sudah lepas dari tuntutan dunia, karena setiap manusia punya hak atas dirinya semata.

Dunia menempa para Kausa sebelum bertemu sang guru. Sebelum mereka betul-betul siap untuk berhadapan dengan kelompok-kelompok baru. Sebelum bertanggung jawab pada sesuatu yang lebih besar dan pelik, serta menyangkut hidup khalayak ramai penghuni satu semesta. Cukup atau tidak pertemuan mereka dengan sang guru kemudian, siapa yang tahu. Karena ancaman nyata terhadap eksistensi mereka pun ada di mana-mana dan bisa datang dari mana-mana. Sebelum memahami bahwa dengan adanya kekuatan yang besar datang pula tanggung jawab besar, anak-anak itu mesti mampu berdialog dan akrab dengan diri mereka sendiri terlebih dahulu.

Lihat selengkapnya