Hai.
Dari sekian banyak cara untuk membuka kisah ini, aku memilih menyapamu dengan sebuah kata. Hanya sebuah kata, namun cukup untuk membuat semua kenangan tentangmu muncul kembali.
Apa kabar?
Aku harap kamu baik-baik saja. Kamu harus baik-baik saja, karena setelah bertahun-tahun telah lewat, ternyata doaku masih mengharapkan yang terbaik kalau tentang kamu. Padahal aku memiliki segudang penuh alasan untuk membencimu. Namun kenapa sebuah alasan sederhana bernama kenangan, mampu meluluhkan rasa benci itu?
Tahukah kamu apa yang kulakukan ketika kamu pergi?
Aku menantimu kembali.
Bodoh memang. Sekuat apapun aku berusaha, selama apapun aku berdoa, kamu tak akan pernah kembali padaku. Aku tahu itu. Tapi mengapa hatiku seakan tidak mau mengerti? Disetiap jalinan jemariku kusebut namamu, meski disetiap sujudmu yang terucap adalah namanya. Mengapa hatiku masih tidak mau menerima?
Aku rindu.
Logikaku sudah berkali-kali menegur. Namun aku bisa apa, ketika rindu itu datang tanpa tahu masa. Tak mau pergi meski yang dituju bukan milikku lagi. Ah, maaf. Ternyata kamu memang tidak pernah menjadi milikku. Baik dulu, maupun sekarang, kamu sepenuhnya bukan milikku.
Terkadang aku membenci semesta. Karena ia tidak mengizinkanku untuk memilikimu barang sedikit saja. Karena ia memberiku rasa, yang seharusnya tidak pernah ada. Karena ia melemparkan kenyataan kehadapan wajahku dengan cara paling menyakitkan.