Kalau tidak salah ingat, seminggu setelah pertemuan pertama kita, semesta memberiku kesempatan untuk lebih mengenalmu.
Tanggal delapan belas bulan pertama. Sekolahku mengadakan bazar ekstrakulikuler sebagai salah satu acara pengisi kegiatan orientasi siswa. Awalnya aku tidak terlalu tertarik, sampai kemudian netraku menangkap sosokmu.
Kamu mengenakan kaos hitam bertuliskan "SENADIKA" dengan bawahan celana olahraga sekolah. Sepatu converse putihmu tampak bersih, mungkin baru dicuci.
Kamu menyapa teman-teman seangkatanku dengan ramah. Beberapa dari mereka mengikuti arahanmu untuk menuliskan data diri dimeja pendaftaran. Tampaknya kamu berhasil membuat mereka tertarik untuk masuk kedalam esktrakulikuler yang kamu ikuti.
Aku pikir aku hanya akan berdiam ditempat selama beberapa saat, menikmati momen dimana aku bisa melihatmu dari jauh. Saat tiba-tiba pandanganmu jatuh padaku.
Apa yang kamu rasakan saat itu? Terkejutkah? Senangkah? Atau biasa saja? Aku tidak tahu, dan tidak ingin mencari tahu. Mengetahui senyummu sore itu tertuju padaku, sudah lebih dari cukup.
Aku sendiri tidak tahu mengapa, tapi kakiku malah membawaku kepadamu.
"Hai." Sapamu. Cukup pelan dan hampir tidak terdengar ditengah riuhnya suasana bazar.
"Kakak ekskul apa?" Tanyaku ketika canggung mulai menyapa. Apa kamu tidak merasa lelah, terus tersenyum seperti itu? Kamu tahu kan senyummu itu menular, jadi jangan lelah tersenyum ya.
"Mading. Kamu mau ikut?" Aku mengangguk, lalu mengikuti langkahmu yang membawaku ke meja pendaftaran. Lagi-lagi aku mengikuti langkahmu, sama seperti pertemuan pertama kita. Dan akan tetap sama sampai pada pertemuan terakhir kita.
"Narasi Amerta." Aku dapat mendengarmu menggumamkan namaku, membuatku memalingkan wajah menatap dirimu. Baru kusadari kalau tinggiku hanya sebatas dagumu. Dari jarak sedekat itu, aku dapat mencium aroma parfum yang terkesan maskulin. Aromamu waktu itu mengingatkanku pada Papa —kurasa kalian memakai parfum dengan merek yang sama.
"Biasa dipanggil Nara." Kataku sebelum kamu dapat membuat nama panggilan untukku. Sejak dulu banyak teman yang seenaknya membuat nama panggilanku. Mulai dari Rasi, Nana, Rara, Sisi, Ame, Tata, Merta, dan entah apa lagi. Tapi kamu, terima kasih karena tidak memanggilku dengan nama panggilan ciptaanmu sendiri.
"Nara, dalam artian Jawa?" Tanyamu lagi.
"Yunani." Jawabku, membuatmu mengangguk mengerti.