Aphelion

Clarissa Kawulur
Chapter #5

4. Rindu dan Pilu

Malam ini kelabu. Hujan turun dengan derasnya sedari siang tadi. Sementara diriku, kedinginan dan sendirian. Berusaha menghabiskan waktu dengan menonton berbagai film, membaca novel, dan juga menulis. Sampai kemudian, sebuah kenangan mengenai dirimu muncul tanpa dapat kutahan.

Hari itu, senin tanggal tujuh belas bulan ke dua. Itu pertemuan ke, eh, entahlah. Sepertinya aku berhenti menghitung jumlah pertemuan kita sejak beberapa minggu setelah pertemuan ketiga.

Pertemuan ketiga itu, seakan menjadi gerbang awal terbukanya pertemanan kita. Kamu tahu kan, aku ini sulit sekali beradaptasi dengan lingkungan baru. Tapi, dengan kehadiranmu, semuanya terasa jauh lebih mudah saat itu.

Kamu, yang tiap pagi akan menyapa ketika aku memasuki gerbang sekolah. Kamu, yang tiap istirahat akan mampir ke kelasku untuk sekedar bertanya apa aku mau makan bersamamu. Kamu, yang tiap pulang sekolah akan menemaniku sampai Papa datang menjemput.

Sederhana memang. Namun justru semua kesederhanaanmu itu yang membuatku nyaman. Semua kesederhanaanmu itu yang membantuku menyesuaikan diri. Semua kesederhanaanmu itu yang membuatku merasa seperti pulang.

Kamu tahu, aku benar-benar rindu masa itu. Masa dimana aku dapat menikmati pantulan sinar mentari pada kedua bola matamu. Masa dimana aku dapat menikmati aroma maskulin yang selalu menguar dari tubuhmu. Masa dimana aku tak perlu merasakan rindu yang datang dengan begitu pilu.

"Nara, kamu tahu apa benda langit kesukaanku?" Tanyamu sore itu. Seperti biasanya, hari senin merupakan jadwal pertemuan anggota 'SENADIKA' —kamu tidak senang kalau ada yang menyebutnya anggota ekskul mading, karena bagimu nama 'SENADIKA' jauh lebih keren— dan seperti biasanya juga, kamu menemaniku menunggu Papa datang menjemput.

"Tidak tahu." Jawabku cepat, membuatmu memasang tatapan kesal kepadaku.

"Coba tebak." Katamu, sedikit merajuk. Membuatku kemudian berpikir keras mengenai benda langit yang cocok kupasangkan denganmu.

"Um, kurasa matahari." Jawabku akhirnya. Tatapan mataku jatuh pada helaian rambut hitammu yang menjuntai menutupi dahi. Kalau tidak salah, waktu itu kamu baru saja terkena teguran karena rambutmu terlalu panjang. Ada-ada saja memang tingkahmu ini. Anggota osis tapi lupa memotong rambut.

"Kenapa matahari?" Tanyamu lagi, membuatku kembali berusaha memikirkan sebuah jawaban.

"Entahlah. Mungkin karena matahari dikelilingi oleh banyak planet? Bagiku kau terlihat seperti matahari. Bersinar begitu terang dan dapat membuat orang lain menjadikanmu panutan." Kamu tertawa mendengar jawabanku. Ah, sekali saja, kalau boleh aku ingin mendengar suara tawamu sekali lagi.

"Aku tidak mau menjadi seperti matahari." Katamu kemudian, membuatku mengerutkan kening heran. Padahal kan matahari ibarat pusat dari tata surya kita. Kenapa kamu tidak mau menjadi seperti matahari?

"Dibanding matahari, aku lebih suka menjadi bintang. Bintang terdengar jauh lebih realistis bagiku." Dapat kulihat matamu terpejam, menikmati sisa kehangatan mentari yang sebentar lagi akan melakukan tugasnya untuk menyinari belahan bumi yang lain.

Lihat selengkapnya