"Nara!" Seruanmu berhasil membuatku menghentikan langkah. Perlahan aku berbalik dan mendapati dirimu yang sedang berlari ke arahku.
"Pagi, Kak Agam," Sapaku begitu jarakmu hanya tersisa beberapa meter dariku.
"Pagi, Nara. Apa kabar?" Aku tersenyum melihat senyummu. Ah, mengapa diriku selalu lemah saat melihat lesung pipimu itu?
"Baik," Jawabku. Namun, kamu malah memicingkan mata. Entah bagaimana, tatapanmu itu seakan mengetahui kebohongan yang kuberikan.
"Enggak begitu baik, sebenarnya," Kataku pada akhirnya. Kamu menarikku duduk di sebuah bangku panjang, membiarkanku tenggelam dalam pikiranku sendiri selama beberapa saat.
Tanggal dua bulan ketiga. Sekali lagi kamu berhasil membuatku berbicara mengenai apa yang kurasakan. Bukannya aku keberatan. Tidak. Tidak sama sekali. Mengapa aku harus keberatan, jika bercerita padamu dapat membuat bebanku sedikit berkurang.
"Jadi, kenapa?" Aku menghembuskan nafas ketika mendengar pertanyaanmu tersebut.
"Ada sedikit masalah sama Papa." Kamu hanya diam mendengarkan. Namun, matamu sama sekali tak berpaling dariku. Ini salah satu hal yang membuatku senang bercerita padamu. Kamu selalu mendengarkan.
"Papa maksa aku buat masuk kedokteran. Padahal aku gak mau jadi dokter. Aku mau jadi penulis. Tapi, kata Papa jadi dokter itu lebih terjamin." Kubalas tatapan matamu. Mengunci iris sekelam malam milikmu, dengan bola mata sewarna madu milikku.
"Menurut Kak Agam, jadi penulis itu salah?" Kamu menggeleng tegas, tanganmu bergerak mengelus rambutku lembut.
"Jadi penulis itu gak salah. Mungkin Papa kamu cuma khawatir." Aku mengerutkan kening mendengar jawabanmu. Apa yang perlu dikhawatirkan dari menjadi penulis?
"Kamu tahu, gimana perjuangan para penulis?" Tanyamu. Aku hanya diam sembari menggelengkan kepala. Yang terpikirkan olehku saat itu hanyalah, kalau mau jadi penulis berarti hanya perlu menulis.
"Pertama, harus menemukan inspirasi. Setelah itu, harus menyusun kata menjadi kalimat. Kalimat menjadi paragraf. Paragraf menjadi bab. Bab menjadi buku yang utuh. Perbendaharaan katamu harus banyak. Ide ceritamu harus ada. Harus siap kalau suatu saat, ketika sedang menulis semua idemu serasa lenyap." Mudah, pikirku saat itu. Aku sudah biasa merangkai kata sejak sekolah dasar. Menulis tidak mungkin sesulit yang kamu katakan.
"Kedua, harus ada penerbit yang mau menerbitkan ceritamu." Untuk yang satu ini, aku rasa masih bisa ku atasi.
"Ketiga, kamu harus punya pembaca." Aku mendelik kesal mendengar poin ketiga darimu.
"Tentu saja kalau menulis harus ada pembacanya." Rasanya ingin sekali aku meneriakan hal itu padamu, namun yang saat itu keluar dari mulutku hanyalah gumaman yang mungkin lebih mirip sebuah bisikan.
"Selera tiap orang berbeda. Kalau ceritamu tidak memuaskan, kamu harus siap kehilangan pembaca. Kamu harus siap bekerja sendiri untuk mempromosikan ceritamu. Kamu juga harus siap mendapat kritik dan komentar yang mungkin tidak mengenakan." Aku tertegun sesaat mendengar penuturanmu.
"Kak Agam serius?"
"Serius, Nara. Tanteku penulis. Aku sudah berkali-kali melihat bagaimana susahnya ketika mau menerbitkan sebuah buku," Jawabmu, sukses membuatku meragu.