Kalau ada jenis perasaan yang tidak ingin aku lihat darimu, itu adalah perasaan sedih, marah dan kecewa. Perasaan sedih membuat kedua matamu terlihat redup. Perasaan marah membuatmu tampak menakutkan. Dan perasaan kecewa membuatmu menjadi rapuh.
Aku pernah melihat ketiga emosi itu dalam dirimu. Namun, yang ingin aku ceritakan sekarang adalah hari dimana untuk pertama kalinya aku melihatmu kecewa. Dan itu sungguh membuat hatiku hancur.
Hari rabu, tanggal sembilan belas bulan ketiga. Sedari pagi sampai pada waktu pulang sekolah, kamu tidak terlihat. Tidak biasanya kamu menghilang seperti ini. Bahkan teman-temanmu pun tidak tahu kamu berada dimana.
Aku khawatir sekali sore itu. Tidak ada kabar. Tidak masuk sekolah. Seperti bukan dirimu. Rapat divisi bahkan harus dibatalkan karena kamu tidak hadir.
Beruntungnya, aku menemukanmu. Terima kasih pada semesta, karena sore itu Papa tidak menjemput. Aku baru saja turun dari angkutan umum ketika aku melihat dirimu. Kamu duduk dibangku panjang sebuah mininarket yang berseberangan dengan lorong rumahku. Tanpa ragu, aku lalu menghampiri dirimu.
"Kak Agam," Panggilku. Kamu menoleh lalu tampak terkejut ketika mendapati keberadaanku. Aku pun sama terkejutnya melihat keadaanmu. Pipimu membiru, dengan sudut bibir yang sedikit berdarah. Apa yang sebenarnya terjadi?
"Kakak gak apa-apa?" Dengan lembut kamu menepis tanganku yang mau memeriksa wajahmu.
"Gak apa-apa. Nara ngapain disini?" Suaramu terdengar serak. Kalau ku perhatikan lagi, kedua matamu tampak sembab. Apa kamu habis menangis? Kenapa? Ah, begitu banyak pertanyaan yang menyerang pikiranku saat itu.
"Rumahku disana," jawabku sambil menunjuk lorong rumahku. "Kakak ngapain disini?"
Kamu masih tidak menjawab, membuatku berdecak kesal. Sampai kemudian aku memutuskan untuk menarik tanganmu menuju rumahku. Awalnya kamu menolak, sebelum kemudian memilih untuk pasrah karena mendengar ancamanku —padahal kupikir ancamanku yang akan merajuk kalau kamu menolak ikut tidak akan berhasil.
"Gak enak sama orang tua kamu." Alasanmu saat itu.
"Papa, Mama sama adek-adek lagi gak dirumah. Cuma ada Oma. Oma gak akan keberatan kok." Pada akhirnya kamu menghembuskan nafas, pasrah kutarik menuju rumah.
Oma tampak terkejut ketika melihatku pulang bersamamu. Namun, Oma memilih untuk tidak bertanya lebih jauh. Aku tahu, kamu lega karena tidak ditanyai macam-macam oleh Oma.
"Tunggu disini," kataku setelah kamu mendudukan diri di sofa ruang tamu. Dengan cepat aku masuk kedalam kamar, mengganti seragamku dengan kaos dan celana rumah, lalu mengambil sebuah kotak P3K.
"Gak usah, Nara. Aku gak apa-apa." Aku menggeleng tegas mendengar perkataanmu itu. Bagaimana mungkin kamu tidak apa-apa, padahal wajahmu sudah terluka seperti itu.
"Itu harus di kasih obat," Kataku sedikit memaksa. Namun kamu tetap bersikeras tidak ingin diobati.
"Ini, kompres air dingin dulu. Habis itu kasih salep." Suara Oma berhasil mengagetkan kita berdua.