Setelah kejadian kamu berada dirumahku dengan wajah terluka hari itu, hubungan kita menjadi semakin dekat. Kini, bukan hanya menyapa ketika pagi atau menemaniku menunggu Papa menjemput. Sesekali kita pulang bersama, dan kamu akan menemaniku berjalan sampai kerumah. Kalau tidak sedang buru-buru kamu akan mampir, sekedar menyapa Papa dan Mama atau berbagi cerita dengan Oma.
Aku selalu suka mendengarmu berbicara. Bagaimana kamu akan menceritakan banyak hal padaku, mulai dari kisah dewa-dewi Yunani sampai pada teori-teori fisikia. Kamu suka sekali membahas berbagai macam hal.
Namun, aku tidak pernah keberatan kalau kau tiba pada saat dimana kamu hanya ingin berdiam diri. Kesunyian yang ada di antara kita tidak pernah terasa mengganggu. Contohnya seperti saat itu.
Sore yang cerah, ketika burung gereja kembali ke sarangnya. Langit berubah jingga dengan sedikit semburat merah muda. Untuk sesaat matamu terpaku pada langit senja, sebelum kemudian kembali mengalihkan fokus pada buku fisika di atas meja.
Padahal baru seminggu yang lalu kamu menangis di pundakku, mengatakan bahwa mereka menggambil mimpimu. Sekarang, kamu sudah kembali seperti biasa. Namun dengan memperjuangkan mimpi yang berbeda.
Ayahmu tampak tidak keberatan kalau kamu lebih banyak menghabiskan waktu bersamaku, asalkan kamu tetap fokus untuk ujian masuk Sekolah Tinggi Intelijen Negara.
Jujur perasaan khawatir itu ada. Khawatir kalau kamu tidak bahagia. Khawatir kalau kamu tertekan. Khawatir kalau pada akhirnya kamu memilih menyerah.
Aku pernah menyuarakan kekhawatiranku padamu, yang kemudian kamu balas dengan sebuah senyum menenangkan. "Aku akan baik-baik saja, Nara. Selalu doakan aku ya," katamu saat itu.
Iya. Aku selalu mendoakanmu. Sejak hari itu, sampai pada hari ini aku tetap mendoakan yang terbaik untukmu.
"Haaahhhh!" Seruanmu membuatku tersentak kaget. Ah, ini salah satu kebiasaanmu saat belajar. Ketika lelah memikirkan suatu pelajaran, kamu akan mengalihkan pikiranmu dengan berseru atau menyanyi dengan keras.
"Kenapa Kak?" tanyaku pada akhirnya. Kamu mengalihkan pandangan padaku, sebelum kemudian menggeleng pelan.
"Gak apa-apa. Cuma capek lihat banyaknya rumus fisika yang ada." Aku tersenyum mendengar jawabanmu itu. Wajar saja kamu lelah, mengingat waktumu mempersiapkan diri tidak lebih dari enam bulan lagi.
"Nara, main yuk," katamu. Seperti biasa, kedua bola matamu memantulkan bayangan jingga dari langit senja. Aku memang bukanlah seorang pecinta senja, namun tak dapat kupungkiri bahwa senja yang terpantul pada matamu benar-benar membuatku terpesona.
"Mau main apa?" tanyaku penasaran. Kamu menggeser badanmu mendekat padaku, menyandarkan lengan pada meja yang menjadi jarak diantara kita.
"Hm, apa ya?" kamu mengetuk-ngetukan jari di atas meja, sementara diriku menunggu dengan sabar. Sambil mengagumi kedua bola matamu, tentu saja.
Kurasa jika saat itu ada yang bertanya hal apa yang sangat kusukai, aku tidak akan ragu menjawab sepasang mata hitam Kak Agam. Katakanlah aku berlebihan. Namun matamu itu sungguh memiliki daya tariknya sendiri.