"Satu piring nasi goreng istimewa datang!" Dengan cepat kamu menutup novel yang sedang kamu baca, dan mengalihkan atensi pada nasi goreng yang baru saja aku letakkan dihadapanmu.
Kalau ada yang bisa mencuri seluruh perhatianmu —setelah diriku dan juga buku, tentu saja— sudah dapat dipastikan itu adalah sepiring nasi goreng.
Berbeda denganku yang menyukai makanan manis, kamu cenderung lebih suka sesuatu yang pedas. Nasi goreng dengan telur dadar dan kornet merupakan salah satu yang paling sering kamu makan.
Saking seringnya, aku sampai harus belajar memasak pada Ibumu hanya agar kamu tidak melupakan makan malam ketika sedang berada dirumahku. Ah, ternyata jatuh hati bisa membuat apapun menjadi mungkin ya. Lihat saja diriku yang secara mengejutkan mau menyibukan diri dengan pisau dan wajan demi dirimu.
"Gimana rasanya?" tanyaku setelah kamu memasukkan sebuah suapan pertama dalam mulut. Memang bukan pertama kalinya aku memasak untukmu, namun rasanya tetap saja mendebarkan ketika kamu memakan hasil pekerjaanku itu.
"Enak kok. Nara makin pintar masak." Mau tidak mau aku tersipu mendengar pujianmu itu. Yah, lagi pula aku belajar memasak karena dirimu. Jadi, tidak ada salahnya kan kalau aku senang mendengar perkataanmu.
Suasana sunyi merambati halaman belakang rumahku. Aku sama sekali tidak keberatan dengan diammu hari itu. Aku cukup puas dengan menatap pantulan langit siang pada sepasang bola matamu. Angin sesekali berhembus menerbangkan rambutmu yang menjuntai melewati alis. Kelihatannya kamu harus segera memotong rambutmu, kalau tidak ingin terkena teguran lagi.
Hari itu sabtu, jadi kamu memiliki lebih banyak waktu untuk dihabiskan bersamaku. Kalau boleh jujur, aku senang dengan hubungan kita saat itu. Ingin sekali rasanya aku kembali ke masa lalu dan menyimpan segala perasaan ini seorang diri, semata-mata agar tidak ada yang berubah di antara kita.
"Nara," panggilmu. Sekilas aku melirik ke arah piring diatas meja, sebelum beralih menatapmu. Nasi goreng buatanku sudah habis. Entah aku yang terlalu tenggelam dalam pikiran, atau kamu yang memang sedang lapar.
"Kenapa kak?" kamu diam, membalas tatapanku. Selama sesaat aku mengira waktu berhenti berputar, dan aku tersesat dalam netra hitam milikmu.
"Kamu tau kenapa nasi goreng ini istimewa?" tanyamu, membuat perhatianku kembali terfokus pada pembicaraan kita.
"Karena ada telur dadar dan kornetnya," jawabku yakin. Namun, kamu malah tertawa mendengar jawabanku waktu itu.
"Kamu salah." Aku mengernyit bingung mendengar bantahanmu itu.
"Nasi goreng ini istimewa karena kamu yang masak." Dapat kurasakan jantungku yang kembali berdetak tak beraturan.
Ah, curang sekali. Perasaanku saat itu sudah tidak karuan mendengar perkataanmu —bisa bayangkan perasaan senang, bangga, gugup, kesal dan malu bercampur menjadi satu— sementara kamu tampak tidak terpengaruh.
"Jawaban Kak Agam juga kurang tepat," balasku kemudian. Kamu memberiku pandangan bertanya, membuatku mengulas sebuah senyum jahil.
"Kalo gitu apa jawaban yang tepat?" Tanyamu.