Aphelion

Clarissa Kawulur
Chapter #11

10. Persamaan Hak

Tanggal empat belas bulan ke empat. Memasuki pertengahan bulan April, intensitas hujan mulai berkurang. Setelah akhir pekan kemarin cuaca benar-benar cerah, hari itu hujan turun dengan derasnya. Sepertinya langit cukup tahu diri untuk menahan tangisannya hingga awal minggu. Waktu yang tepat, mengingat hari senin seringkali menjadi hari sibuk bagi banyak orang.

Seperti biasa, hari senin adalah hari wajib untuk rapat divisi. Ruangan aula yang biasa dijadikan tempat berkumpul terletak terpisah dengan gedung utama sekolah, membuat lebih dari setengah anggota 'SENADIKA' terlambat datang. Namun, tidak ada yang keberatan dengan segala keterlambatan yang ada. Tampaknya, delapan orang yang berhasil tiba di aula dengan selamat —dalam artian tidak mengalami insiden terkena air hujan— malah menikmati detik-detik bersantai setelah lelah terjebak dalam delapan jam pembelajaran.

"Nara bawa payung?" Tanya Binar, membuatku mengalihkan perhatian dari tirai hujan yang membasahi lapangan sekolah. Hujan mengingatkanku pada pertemuan pertama kita, pada kilauan netramu ketika memantulkan petir dan kilat yang sesekali terlihat.

"Enggak. Tapi, kayaknya Kak Agam bawa," jawabku. Binar tampak menatapku bingung, sebelum kemudian beralih pada Kak Agam. Ah, aku tahu arti dari tatapan itu. Papa biasa memberikannya padaku ketika nilaiku tidak cukup baik, atau saat aku melakukan suatu kesalahan. Sebuah tatapan penghakiman.

"Kak Agam kan cowok," katanya. Kini giliran aku yang balas menatapnya. Sejujurnya aku sedikit kesal dengan orang-orang yang memberi stereotip tidak menyenangkan pada mereka yang membawa barang tertentu. Misalnya saja cowok yang membawa payung di anggap kemayu, atau cewek yang berteman dengan banyak cowok merupakan cewek tidak baik.

"Terus kenapa kalau aku cowok?" Perhatianku dan Binar teralihkan oleh pertanyaanmu yang baru datang bersama Asav. Di tangannya terdapat sebuah payung berwarna biru tua yang masih meneteskan sisa-sisa air hujan. Sepertinya kamu baru saja menjemput Asav di kelasnya, mengingat diantara anggota divisi hanya dirimu yang membawa payung.

"Ya, aneh aja masa cowok bawa payung," jawab Binar. Sementara aku dan Asav menatap tidak setuju, kamu malah mengulas sebuah senyum geli. Seandainya saja keadaannya tidak seperti itu, sudah pasti aku akan ikut tersenyum melihatmu.

"Kamu tau apa yang diperjuangkan R. A. Kartini?" Aku dan Asav mengerutkan kening, sementara Binar mengangguk yakin mendengar pertanyaanmu itu.

"R. A. Kartini memperjuangkan kesetaraan hak buat wanita Indonesia," jawabnya, membuatmu kembali tersenyum.

"Benar sekali. Sebuah emansipasi. Hak-hak wanita untuk bersekolah, untuk bekerja. Sebuah kesetaraan antara pria dan wanita." Aku yang masih tidak mengerti arah pembicaraanmu hanya dapat diam dan memperhatikan. Apa hubungannya permasalahan payung dan emansipasi wanita?

"Lalu, menurutmu apa hasil perjuangan beliau yang dapat kalian —para perempuan— dapat nikmati pada masa sekarang?" Tanyamu lagi. Binar diam sebentar, sebelum kemudian menjawab perlahan.

"Um, aku dan banyak perempuan lainnya bisa bersekolah sampai sarjana, memperoleh pekerjaan selain menjadi ibu rumah tangga, dan bisa bersaing secara terbuka dengan laki-laki." Kamu menggangguk mendengar jawaban Binar. Asav yang berdiri disebelahku tampak ikut mengganguk, sementara diriku masih tidak mengerti maksud dari pembicaraan itu.

Lihat selengkapnya