Waktu itu aku tidak menyangka kalau kehilangan bisa terasa begitu menyakitkan. Apalagi kalau seseorang yang pergi adalah salah satu orang paling berharga dalam hidupku.
Maksudku, aku sering datang ke pemakaman orang lain. Beberapa kali pada pemakaman orang yang aku kenal, sekali pada pemakaman guruku ketika sekolah dasar. Aku sering melihat keluarga yang ditinggalkan menangis ketika orang yang meninggal akan dikuburkan. Namun, aku tidak benar-benar memahami rasa sakit seperti apa yang mereka rasakan. Sampai hari itu datang.
Jumat kelabu, dimana awan gelap menggantung sejak subuh. Sudah seminggu sejak Oma dirawat di rumah sakit —Oma ditemukan pingsan di kamar mandi dan tidak sadarkan diri sampai hari itu— sehingga aku, Papa dan Mama membagi tugas jaga agar kegiatan sehari-hari tidak terganggu. Sesekali kamu datang —entah hanya mengantarku sampai rumah sakit, atau ikut menemaniku menjaga Oma— untuk memastikan aku baik-baik saja.
Awalnya, kupikir aku sudah siap dengan segala kemungkinan yang ada. Dokter sudah mengatakan pada kami agar menyiapkan mental untuk kepergian Oma yang bisa terjadi kapan saja. Papa sendiri tiap malam berdoa ditelinga Oma, mengatakan bahwa kami merelakannya, bahwa kami akan baik-baik saja dan dia dapat pergi dengan tenang. Nyatanya? Aku tidak pernah siap.
Hari pertama dibulan kelima. Pukul tiga sore. Setelah kamu menyelesaikan kewajiban beribadah pada Tuhanmu, kita pergi bersama ke rumah sakit. Kamu bilang akan mampir melihat keadaan Oma, sekaligus untuk menemaniku yang harus berjaga sendirian.
Hujan sudah berhenti sejak beberapa jam yang lalu. Menyisakan jalanan becek dan udara dingin yang sesekali berhembus. Aku melangkahkan kaki memasuki lorong tempat kamar rawat Oma. Entah mengapa aku mendapatkan dorongan untuk mempercepat langkah ke kamar itu, seakan ada hal besar yang menunggu dan kalau aku terlambat maka aku akan menyesal selamanya.
Begitu tiba didepan pintu kamar yang terbuka, aku mendapati Papa dan Mama juga dokter dan beberapa perawat berdiri mengelilingi Oma yang terbaring lemah. Alat penyokong kehidupan yang biasanya mengisi kekosongan ruangan seminggu belakangan terdengar sunyi, membuatku mengerutkan kening bingung.
"Ada apa?" Tanyaku pelan, namun cukup untuk membuat fokus semua orang teralih. Dokter dan para perawat sedikit menyingkir, membuatku dapat melihat Mama dengan wajah berlinang air mata sedang menggenggam tangan Oma. Tak ada alat bantu pernafasan, tak ada alat rekam jantung. Sunyi.
"Oma kenapa?" Tanyaku lagi. Kusadari suaraku sedikit pecah ketika bersuara. Mataku bahkan sudah memburam namun masih berusaha kutahan. Aku tahu apa yang terjadi saat itu, hanya saja ada bagian dalam hatiku yang menolak untuk percaya.
"Oma," panggilku sembari berjalan mendekat. Mata Oma terpejam, dadanya yang biasa bergerak teratur kini diam. Bahkan tangannya terasa begitu dingin ketika aku menyentuhnya.
"Oma, bangun," panggilku lagi. Aku sudah tidak memperdulikan keberadaan dirimu, atau dokter dan para perawat. Aku hanya butuh Oma kembali membuka matanya, menyambutku dengan senyum lalu menarikku ke pelukannya.
"Oma, kenapa? Kenapa pergi?" Isakanku sudah tidak dapat kutahan. Tiba-tiba saja kilas balik waktu yang kuhabiskan bersama Oma berputar otomatis dalam kepalaku.
Ketika Oma tersenyum padaku setiap aku pulang dari sekolah. Ketika Oma tertawa bahagia di hari kelulusanku. Ketika Oma menatap bangga saat aku pertama kalinya memakai seragam putih abu-abu. Oma yang tidak pernah marah dan selalu membelaku. Oma yang tidak menolak ketika aku membawamu pulang dalam keadan tidak baik.
"Oma belum lihat Nara kuliah, Oma belum lihat Nara wisuda. Nara belum bawa Oma jalan-jalan pakai uang Nara sendiri. Nara belum buat Oma bangga. Kenapa Oma pergi?"
Tanpa sadar aku mulai mengguncang tubuh kaku Oma. Air mataku mengalir tanpa tahu akhir. Gumaman penyesalanku turut meramaikan ruangan berwarna putih tersebut.
Aku bahkan tidak menyadari saat kamu menarikku menjauh agar Papa dapat menutupi Oma dengan selembar kain putih. Aku bahkan tidak menyadari saat dokter dan perawat keluar diikuti jenazah Oma yang menunggu untuk dimandikan.
Yang kutahu, ada sesuatu yang retak dihatiku. Ada sesuatu yang hancur. Ada sesuatu yang hilang. Rasanya menyakitkan. Setiap inchi dari tubuhku terasa sakit. Dimulai dari sesuatu didalam hati, meluas sampai kepala dan kemudian seluruh tubuhku seperti mati rasa. Kegelapan sepenuhnya merengkuhku.