Aphelion

Clarissa Kawulur
Chapter #13

12. Merasa Kosong dan Kesepian itu Manusiawi

"Kak Agam pernah merasa kosong?"

Aku ingat dulu pernah menanyakan hal tersebut padamu. Kalau tidak salah pada tanggal dua puluh delapan bulan kelima. Cuaca siang itu cerah; langit biru, awan putih, angin yang berhembus lembut. Terlihat kontras dengan wajah damai milikmu.

Lapangan sekolah sepi karena pelajaran olahraga sudah berakhir sejak pukul sebelas tadi. Kebetulan yang menyenangkan, guru sejarahku sedang tidak bisa mengajar disertai dengan ke tidak hadiran guru kimia di kelasmu, membuat kita dapat menikmati sedikit istirahat tambahan yang seharusnya tidak diperbolehkan.

Tidak apa sekali-sekali melanggar peraturan, asalkan tidak ketahuan guru bimbingan konseling. Begitu katamu waktu itu ketika akan mengajakku bersantai di tribun sekolah.

"Tentu saja pernah." Kamu yang membaringkan diri di sampingku menjawab pelan. Kedua matamu terpejam dengan tangan kiri yang difungsikan sebagai alas kepala.

"Kapan?" tanyaku lagi. Untuk sesaat kamu diam. Alismu sedikit mengerut, kurasa kamu sedang memikirkan jawaban yang akan kamu berikan.

"Saat Ayah memaksaku untuk mengikuti segala kemauan Ayah, awalnya aku merasa marah. Setelah itu, muncul sebuah pemahaman bahwa aku tidak dapat berbuat apa-apa untuk melawan. Dan kemudian perasaan kosong itu muncul begitu saja, melenyapkan segala emosi yang sempat tercipta."

Aku tertegun mendengar jawabanmu. Bagaimana caramu bertahan dengan segala keadaan yang memaksa seperti itu?

"Bagaimana cara kakak supaya tetap baik-baik saja?" kedua matamu perlahan terbuka menatap langit, sebelum kemudian beralih menatapku.

"Kamu." Sesaat aku seperti terpaku dalam kedua bola matamu, sebelum kemudian sebuah kesadaran menghantamku kembali.

"Maksud kakak?" kamu mengubah posisi menjadi duduk menghadapku, memberikan sebuah tatapan lembut.

"Aku cuma tahu cara untuk terlihat baik-baik saja. Sampai hari itu kamu datang, mendengarkanku, mengobatiku. Dan ketika aku sadar, aku sudah tidak apa-apa. Kamu yang membuatku bisa melewati semuanya."

Kembali aku tertegun mendengar mendengar jawabanmu. Bahkan elusan lembut di puncak kepalaku seakan tidak terasa karena detakan jantungku yang mulai tidak beraturan.

Saat itu, yang dapat kupikirkan hanyalah bagaimana tatapanmu terasa menenangkan. Bagaimana senyumanmu terlihat mempesona. Dan bagaimana detakan dalam rongga dada yang menggila bisa terasa begitu nyaman.

"Kenapa Nara bertanya soal kekosongan?" tanyamu. Aku mengerjap sekali, sebelum kemudian akal sehatku kembali menguasai.

"Akhir-akhir ini, Nara merasa kosong. Seperti ada yang hilang," jawabku tanpa berusaha mentupi apapun. Kalau hatiku ibarat sebuah bendungan, maka aliran air yang berisi curahan perasaanku hanya aku alirkan padamu.

Lihat selengkapnya