"Kamu jadi masuk kedokteran?" Tanyamu pada suatu pagi yang mendung. Waktu sudah menunjukan pukul tujuh pagi, namun sinar matahari belum terlihat barang setitikpun. Angin berhembus kencang, membuatku merapatkan jaket hitam yang kupakai.
"Jadi kak," Jawabku. Kamu menghela nafas mendengarnya, membuatku bertanya-tanya apa yang kamu pikirkan hari itu?
"Kamu yakin?" Tanyamu lagi, yang kujawab dengan sebuah anggukan.
"Terkadang aku tidak mengerti dengan jalan pikir orang tua," Katamu. Pandanganmu menerawang menatap gumpalan awan kelabu yang berjalan beriringan.
"Kenapa?" Kembali kamu menghela nafas, sebelum kemudian mengalihkan pandanganmu padaku.
"Karena mereka selalu saja merasa benar." Aku diam, menunggumu melanjutkan perkataan. Disaat kamu sedang terbebani dengan suatu pikiran, akan lebih baik kalau aku membiarkanmu berbicara.
"Misalnya saja Ayah. Ayah merasa menjadi seorang agen intelijen jauh lebih baik dibandingkan menjadi guru agama. Padahal belum tentu apa yang ia anggap baik untukku akan benar-benar berakhir baik nantinya."
Suasana halaman belakang yang sepi membuatku dapat mendengar dengan jelas segala emosi yang berusaha kamu keluarkan. Kamu lelah, terluka. Hanya saja kamu tidak tahu harus kemana dan bagaimana.
"Terkadang aku lelah dengan segala keputusan yang Ayah ambil. Hanya karena aku anak pertama, maka segala tanggung jawab dibebankan padaku. Harus masuk sekolah yang mereka pilih, harus mendapat nilai sesuai standar yang mereka tentukan, harus berteman dengan anak-anak yang mereka setujui, harus menjadi seperti yang mereka mau."
"Mereka hanya mencoba melakukan yang terbaik," kataku setelah beberapa menit tanpa suara. Kedua mata hitammu seakan menusuk diriku, membuatku kehilangan kata sesaat.
"Mungkin cara mereka kurang tepat. Tapi, aku yakin kalau mereka hanya berusaha agar kita tidak melakukan hal yang malah merusak masa depan kita. Mereka sudah lebih dulu melewati masa remaja, mereka berusaha menghindarkan kita dari segala hal berbahaya." Kamu mendengus mendengar perkataanku, sebelum kemudian mengubah ekspresimu dengan memasang sebuah senyum jenaka.
"Nara, kamu mau tahu suatu rahasia?" Tanyamu tiba-tiba.
"Rahasia apa?" Melihat wajah penasaranku, senyumanmu malah berubah menjadi sebuah cengiran lebar.
"Tapi Nara harus janji gak boleh bilang rahasia ini ke siapapun," Katamu sambil menyodorkan jari kelingking. Tanpa pikir panjang aku segera menyambut uluran jari itu, mengaitkannya dengan kelingkingku.