Aphelion

Clarissa Kawulur
Chapter #7

6. Jatuh Dan Patah

Setelah menghabiskan tiga puluh enam jam untuk berjaga di rumah sakit, akhirnya aku bisa menghirup udara tanpa bau obat-obatan.

Suasana cafe yang kupilih untuk menyantap sarapan -entah masih bisa disebut sarapan atau tidak karena saat ini sudah pukul setengah sebelas siang- tampak ramai. Wajar sebenarnya, karena cafe ini terletak di ruas jalan utama. Bau coklat, kopi dan kue menguar di udara.

Aku menyesap coklat panasku dengan perasaan bahagia. Coklat panas dan sepiring choco lava terlihat seperti pasangan sempurna siang ini. Coklat selalu berhasil membuat perasaanku membaik. Namun, kali ini hal tersebut tidak berlangsung lama.

"Ice Americano, satu. Caramel Machiato, satu." Suara serak tersebut membuatku seketika memalingkan wajah ke arah meja pemesanan.

Tidak mungkin aku salah. Mata hitam sekelam malam,senyum berlesung pipi, suara serak dan dalam. Itu kamu.

Sudah berapa lama aku tidak melihatmu? Lima tahun? Mungkin lebih. Kamu tidak berubah. Telihat lebih dewasa memang, dengan rahang yang ditumbuhi rambut tipis. Namun, selain itu tidak ada yang berubah.

Kupikir rinduku tidak bisa lebih buruk dari saat bertahun-tahun tanpamu. Ternyata aku salah. Dari semua orang yang aku kenal, mengapa harus kamu yang kutemui kembali?

Mataku tak lepas dari memandangmu. Mengamati senyum yang kamu berikan pada wanita cantik disebelahmu. Apa dia wanita yang selalu kau sebut dalam sujudmu? Kurasa iya.

Syukurlah kalau begitu. Setidaknya kamu mendapatkan kebahagiaanmu. Setidaknya semesta mendengarkan satu permohonanku tentangmu.

Melihatmu menggenggam erat tangan wanita tersebut, membuatku teringat saat itu. Tanggal sebelas bulan ketiga. Saat dimana untuk pertama kalinya aku menunggumu selesai beribadah pada Tuhanmu.

Waktu itu kamu baru saja keluar dari mushola sederhana yang disediakan sekolah. Wajahmu basah oleh air yang sesekali menetes dari rambut. Kembali aku terpaku pada matamu. Entah perasaanku saja, atau matamu memang terlihat lebih berkilauan dari biasanya.

"Udah nunggu lama?" Tanyamu begitu netra hitam itu mendapati keberadaan diriku.

"Baru lima menit." Jawabku. Kamu lalu menempatkan diri di sampingku. Berbagi bangku panjang di seberang mushola, sembari menatap anak-anak lelaki yang habis melaksanakan ibadah sepertimu.

"Kamu tahu, apa kisah Nabi yang paling kusuka?" Aku menggeleng sembari mengalihkan pandangan padamu.

Lihat selengkapnya