Aphelion

Clarissa Kawulur
Chapter #15

14. Ternyata Hanya Perasaanku Yang Bertepuk Sebelah Tangan

Suasana UGD malam ini sepi. Di meja resepsionis, beberapa dokter dan perawat yang kebetulan mendapat jadwal jaga sedang mengobrol sembari memakan cemilan malam. Aku sendiri lebih memilih untuk duduk menyendiri di pojokan ruang jaga, menuliskan kenanganku tentangmu seperti malam-malam sebelumnya.

"Nara, ada pasien yang sedang dalam perjalanan. Pria dua puluh delapan tahun, mengalami trauma kepala akibat benturan, patah tulang rusuk, dan luka tembak pada kaki dan lengan. Tolong bantu Dokter Leo di ruang operasi," kata salah satu suster sebelum beralih dengan cepat menuju bagian depan UGD ketika raungan sirine terdengar membelah malam. Aku segera mengambil jas dokterku dan berlari menyambut pasien yang baru saja diturunkan dari ambulans.

Tak dapat kupungkiri betapa terkejutnya aku ketika melihat siapa pasien yang akan aku tangani malam ini. Aku memang merindukanmu, tapi bukan berarti aku ingin bertemu dalam kondisi seperti ini. Dengan wajah merah karena darah, mata terpejam, dan masker oksigen yang terpasang kamu terlihat begitu rapuh.

"Cepat lakukan pemeriksaan awal! Panggil Dokter Leo! Siapkan ruang operasi!" seruku pada beberapa perawat yang sedang bertugas. Ruang UGD seketika ricuh, apalagi ketika beberapa orang berjas masuk secara paksa; dua orang pria dan tiga orang wanita.

"Tolong selamatkan rekan saya," kata seorang pria berperawakan tinggi besar. Tangannya yang berlumuran darah menangkap lenganku, meninggalkan bercak kemerahan pada jas dokterku.

"Apa anda terluka?" tanyaku cepat. Pria itu menggeleng, namun tidak melepaskan cengkramannya.

"Selamatkan rekan saya," katanya lagi, membuatku mengangguk mengerti. Dapat kusimpulkan bahwa pria ini merupakan rekanmu.

"Kalau begitu anda bisa tunggu diluar," kataku sembari berusaha melepaskan diri. Sungguh, tenaganya begitu besar sampai-sampai lenganku terasa sakit.

"Raga, biarkan mereka menangani Agam." seorang wanita tiba-tiba datang dan menarik pria ini sampai terlepas dariku. Aku terpaku pada wajah wanita itu dan seketika merutuk dalam hati. Ah, apa semesta ingin bermain-main dengan hatiku malam ini?

"Maafkan rekan saya Dok— eh?" wanita itu tertegun sejenak ketika menatapku. Tampaknya bukan hanya aku yang mendapat kejutan.

"Nara?" Aku mengangguk sembari memaksakan seulas senyum pada wanita itu.

"Ruang operasi sudah siap. Dokter Nara sudah ditunggu oleh Dokter Leo," ucap seorang suster, berhasil menyelamatkanku dari kecanggungan yang mulai tercipta. Aku mengiyakan dengan cepat sebelum kembali memberikan seulas senyum pada wanita itu.

"Aku permisi dulu," Kataku, dan tanpa menunggu respon dari wanita itu aku segera berbalik menuju ruang operasi. Samar dapat kudengar keributan petugas kemanan beserta perawat dan dokter yang berjaga agar orang-orang berjas itu keluar dari ruang UGD dan membiarkan yang terluka diobati.

*

Dokter Leo merupakan salah satu dokter terbaik di rumah sakit ini. Aku bersyukur karena kamu dapat tertangani dengan baik, dan aku menjadi salah satu dokter yang bertanggung jawab terhadapmu. Hanya saja aku tidak siap kalau harus menghadapi wanita itu.

"Jadi, bagaimana keadaan rekan saya?" tanya pria berperawakan tinggi besar yang kemarin wanita itu panggil dengan nama Raga. Wajahnya menunjukkan kekhawatiran terhadap dirimu, sementara wanita itu berdiri disampingnya dengan eskpresi yang tidak jauh berbeda.

Tidak heran sebenarnya, mengingat operasimu semalam berlangsung selama tiga jam. Dibandingkan dengan pasien yang biasa ku tangani, tingkat kesulitan kasusmu ini masuk ke level menengah. Bukan operasi sulit, hanya saja kami dilamakan oleh jumlah luka yang tidak sedikit.

"Pasien baik-baik saja. Untuk beberapa hari akan berada di ruang ICU untuk diamati karena pasien sempat kehilangan banyak darah. Kalau kondisinya sudah stabil dapat dipindahkan ke kamar rawat," jawab Dokter Leo, membuat kedua rekanmu menghela nafas lega.

Lihat selengkapnya