Dengan langkah gontai aku berjalan memasuki lift. Jas dokter yang memiliki bercak darah pada bagian lengannya akibat kejadian semalam tersampir begitu saja pada bahuku. Perlahan otakku kembali memutar pembicaraan singkat dengan Dokter Leo tadi.
"Nara, sudah cek keadaan pasien yang kemarin dioperasi?" Tiba-tiba saja Dokter Leo masuk ke dalam ruang kerjaku, membuatku mengalihkan perhatian dari lembaran laporan yang sedang kubaca. Dahiku mengernyit kesal setelah mendengar pertanyaan yang pria bermata biru itu ajukan.
"Saya Dok?" Aku balas bertanya. Dokter Leo menatapku heran selum kemudian menganggukan kepala dengan yakin.
"Iya, kamu. Sebentar lagi saya ada jadwal operasi," jawab Dokter Leo. Aku menatapnya ragu, namun sebelum dapat menyuarakan keberatanku, dering telepon membuat Dokter Leo segera beranjak pergi. Tampaknya asisten Dokter sudah mengabari bahwa operasi akan segera di lakukan.
"Jangan lupa cek keadaan pasien!" Serunya sebelum benar-benar menghilang di balik pintu.
Perlahan aku menarik nafas dalam, berusaha menetralkan detakan jantung yang tiba-tiba tidak beraturan. Aku harus apa? Setelah pembicaraanku dengan Binar kemarin, aku menjadi tidak siap kalau harus bertemu denganmu.
"Siang, dok," sapa seorang perawat, membuatku kembali mendapatkan kesadaran. Di hadapanku, pintu ruang ICU sudah terpampang secara nyata. Dengan cepat aku memakai jas dokter yang sebelumnya tersampir pasrah di bahuku, sebelum kemudian melangkahkan kaki kedalam ruang ICU.
Suara monitor jantung yang bersahut-sahutan membuatku sedikit tidak nyaman, terlebih ketika pada akhirnya aku melihat dirimu. Terbaring lemah dengan masker oksigen yang menutupi wajah dan selang infus yang terpasang pada punggung tanganmu.
Kepalamu dibalut perban, begitu pula dengan beberapa bagian pada lengan dan kakimu. Tak sadar aku meringis ngilu ketika melihat wajahmu yang memiliki lebam kehitaman. Dulu memang aku pernah melihatmu terluka, tapi tidak pernah separah ini. Seketika ingatanku terlempar pada sepuluh tahun yang lalu, ketika untuk pertama kalinya aku menjadi tempatmu berlabuh.
"Menjadi agen intelijen, artinya aku akan berada jauh dari keluargaku. Besar kemungkinan aku akan mati ketika menjalankan misi, dan tidak seorang pun akan tahu."
Kurasa kamu benar. Kamu bisa saja tidak selamat semalam, dan aku tidak akan tahu. Aku akan terus menganggap dirimu baik-baik saja dan berharap bahwa suatu saat kamu akan kembali padaku.
Suara alat-alat penunjang kehidupan yang berbunyi perlahan seakan menjadi pengingat bahwa aku memiliki sebuah tugas disini. Perlahan aku mengambil selangkah mundur sebelum kemudian menguatkan hati untuk memeriksa keadaanmu.
Aku kira semua sudah berakhir. Kamu baik-baik saja, tinggal menunggumu mendapatkan kesadaran dan kamu sudah bisa dipindahkan ke kamar rawat. Ternyata, semesta masih ingin sedikit bermain-main. Tepat setelah melangkahkan kaki keluar dari ruang ICU, mataku bertatapan dengan netra coklat Binar.
"Hai," sapanya sembari tersenyum canggung. Aku balas tersenyum dengan tidak kalah canggung, membuat beberapa suster dan perawat menatap kami dengan pandangan heran.
"Gimana keadaan Kak Agam?" Tanya wanita itu, membuatku kembali tersenyum getir. Ah, dia bahkan tidak perlu mencari alasan untuk tahu keadaanmu. Sedangkan aku? Setelah bertahun-tahun aku harus puas dengan menunggu semesta mengatur pertemuan tidak sengaja kita.