Bau obat-obatan sudah menjadi teman sehari-hari bagi seorang dokter sepertiku. Terlebih dengan profesiku sebagai dokter bedah, membuatku sering berdiam di rumah sakit. Namun, seterbiasa apapun aku dengan suasana ini, rasanya tetaplah aneh ketika salah satu pasienku adalah orang yang pernah aku sayangi.
Ralat, masih aku sayangi.
"Apa ada keluhan?" tanya Dokter Leo saat memeriksa keadaanmu. Kamu tampak sehat. Pucat memang, tapi setidaknya kamu sudah bisa tertawa dan bercanda pada rekan-rekanmu.
"Cuma sedikit lemas," jawabmu. Dokter Leo mengangguk maklum lalu menjelaskan bahwa itu hal yang wajar mengingat kamu baru saja keluar dari ICU kemarin.
Rasanya seperti kembali ke masa lalu dimana aku tersembunyi dibalik punggung teman-temanku, bebas mengamatimu dari jauh tanpa ada yang menyadari. Sayangnya kebahagiaanku dalam hal ini tidak berlangsung lama.
"Dokter Na—" perkataan Dokter Leo terputus ketika tidak mendapati diriku disampingnya. Matanya dengan cepat menatapku tajam, membuat beberapa koas menyingkir agar aku dapat terlihat.
"Sedang apa disana?" Aku tersenyum canggung mendengar pertanyaan Dokter Leo. Sungguh, tatapan matanya yang seakan berniat mengulitiku hidup-hidup membuatku melupakan keberadaan dirimu untuk sesaat.
"Maaf, Dok." Hanya itu yang dapat aku katakan sembari menunduk malu. Tidak mau terlibat lebih jauh dengan tingkahku, Dokter Leo kembali mengalihkan pandangan padamu.
"Dokter Nara merupakan penanggung jawab anda, bersama dengan saya tentunya." Kamu mengangguk mengerti sebelum kemudian menatapku lama. Kerutan di keningmu bertambah ketika menyadari siapa diriku.
"Narasi Amerta?" Aku mengangguk senang. Setidaknya kamu tidak melupakanku.
"Hai, Kak Agam," sapaku canggung. Kamu tertawa kecil melihat wajahku yang mungkin sudah memerah, sementara rekan-rekanmu menatapku penasaran.
"Kalau begitu, saya permisi dulu," potong Dokter Leo sebelum kamu sempat membalas sapaanku. Kelihatannya Pria berambut klimis itu bisa membaca situasi kurang mengenakan yang terjadi diantara kita.
"Mau cari makan. Permisi, Dok," kata salah satu rekanmu sebelum berjalan keluar di ikuti dengan keluarnya rekanmu yang lain, meninggalkan aku yang berdiri canggung disamping kasurmu.
"Duduk dulu," katamu memecah kesunyian. Sebelah tanganmu menunjuk sebuah kursi yang berada tepat disebelah kananmu.
"Nara apa kabar?" tanyamu lagi setelah memastikan aku duduk dengan nyaman.
"Baik. Kak Agam sendiri?" Kamu tersenyum lebar sembari menatapku. Rasanya sudah lama sekali aku tidak melihat lesung pipi itu. Ah, aku rindu.
"Seperti yang terlihat," jawabmu. Sesaat, sunyi kembali mengisi ruang diantara kita. Sampai kemudian kamu kembali bersuara.