Aphelion

Clarissa Kawulur
Chapter #18

17. Cintai Ususmu; Eh, Maksudku Cintai Dirimu!

"Dokter Nara!" Seruan Dokter Leo membuatku tersentak kaget. Aku menatapnya yang berdiri tegap di depan pintu ruang kerjaku, sebelum kemudian mengalihkan pandangan ke beberapa koas yang berdiri di hadapanku sambil menatap canggung. Tangan mereka memegang kertas laporan, sementara wajah mereka tersenyum masam; membuatku bertanya-tanya apa yang tadi kulewatkan.

"Kenapa?" Aku balas bertanya tanpa mengindahkan tatapan memelas beberapa koas tersebut. Dari laporan yang mereka pegang, tampaknya aku tidak mendengarkan penjelasan mereka mengenai hal-hal yang berhubungan dengan tugas akhir. Dokter Leo berdecak kesal sembari berjalan masuk ke dalam ruanganku. Sekilas ia memberi kode para para koas untuk kembali bertugas, meninggalkan kami berdua dalam keheningan panjang.

Pria berusia akhir dua puluhan itu menatapku tajam. Netra birunya menghujamiku dengan sejuta penghakiman. Tidak heran kalau dia mendapatkan sebutan 'prince charming', karena kalau dibandingkan dengan para dokter muda lain dirinyalah yang paling memancarkan aura 'pangeran'. Tubuh jangkung Dokter Leo membuatku harus sedikit mendonggak agar dapat menatap tepat di kedua bola matanya.

"Sejak tadi kamu hanya menanggapi mereka dengan gumaman. Apa kamu mendengarkan apa yang mereka katakan?" Nada penghakiman dalam suara Dokter Leo membuatku menghela nafas. Salahku memang, karena terlalu larut dalam pemikiranku sendiri.

"Maaf, Dok. Saya tidak fokus," kataku sembari menundukan kepala. Yah, bagaimana pun Dokter Leo lebih senior dibandingkan diriku, sehingga wajar kalau dia menegurku meskipun kami sama-sama berstatus sebagai dokter muda.

"Kenapa? Ada masalah?" Mendengar nada suara Dokter Leo yang mulai melembut, aku memberanikan diri untuk menatap wajahnya. Matanya tidak lagi menatapku setajam tadi, meski aku masih dapat merasakan perasaan tidak mengenakan ketika membalas tatapannya.

"Tidak ada apa-apa," jawabku cepat. Netra birunya menatapku dalam, seperti berusaha menyelami pemikiranku. Tiba-tiba saja aku seperti menemukan sosok dirimu pada diri Dokter Leo.

Tidak Nara, mereka orang yang berbeda! Batinku mengingatkan dengan tegas.

"Boleh saya bertanya?" Aku tersenyum geli mendengar pertanyaan Dokter Leo.

"Itu Dokter sudah bertanya," jawabku, menyebabkan munculnya senyum yang sama pada wajah Dokter Leo.

"Ada hubungan apa antara kamu dan pasien atas nama Agam Farid Kaili?" Sejenak aku terdiam ketika mendengar namamu disebut. Ah, apa Dokter Leo menyadari kecanggungan yang tidak wajar dalam caraku berinteraksi denganmu?

"Hanya teman lama."

Aku mengalihkan pandangan pada setumpuk laporan yang diberikan oleh beberapa koas tadi. Enggan rasanya untuk membahas mengenai dirimu pada orang lain.

Tapi, Dokter Leo bukanlah orang lain. Dia yang selama ini membantuku bertahan di tengah beratnya tuntutan tugas pekerjaan. Dia yang membuatku tetap bertahan pada kewarasan ketika rasa rinduku padamu tidak terbendung. Meskipun, disisi lain dia tetaplah terasa asing.

"Kamu bisa cerita masalahmu ke saya. Mungkin saya bisa membantu," katanya pelan. Sekali lagi aku menghela nafas, mempertegas kalutnya pikiranku saat ini.

Lihat selengkapnya