Aphelion

Clarissa Kawulur
Chapter #19

18. Mengapa Semua Orang Begitu Penasaran?!

Hari ini adalah hari terakhirmu di rumah sakit. Pagi tadi —sehabis pemeriksaan rutin— Dokter Leo berkata kamu sudah boleh keluar setelah pengecekan terakhir. Mendengar hal itu, rasanya seperti ada sebuah batu besar yang tiba-tiba mengganjal tenggorokanku, membuatku kesulitan bernafas dengan normal.

Membanyangkan bahwa setelah ini kamu akan menghilang sepenuhnya dari hidupku, membuat lapisan bening air mata mengaburkan penglihatanku. Bagaimana caranya menjalani hidup tanpa mengharapkan dirimu?

"Siang Dok," Sapaan seorang pria bertubuh tinggi besar membuatku tersentak kaget. Rupanya salah satu rekanmu. Ternyata tanpa sadar sedari tadi aku berjalan menuju kamar rawatmu.

"Siang." Rekanmu itu membalas senyumanku, sebelum kemudian pandangan matanya jatuh pada lengan jas dokterku. Masih ada sedikit bercak merah disana, bekas darah yang sulit hilang karena tidak segera aku cuci.

"Maaf, karena saya jas Dokter jadi bernoda," katanya. Aku mengikuti arah pandangannya sambil tersenyum geli.

"Tidak masalah. Saya anggap ini kenang-kenangan." Suara tawa rekanmu bergema disepanjang lorong, membuat beberapa perawat yang lewat menatapnya kesal namun urung untuk menegur.

"Kecilkan suaramu, atau kita akan berakhir di kantor keamanan," kataku, membuat rekanmu seketika terdiam dan memasang senyum canggung.

"Maaf, kebiasaan." Aku mengangguk maklum, membuatnya menghela nafas lega.

"Dokter teman lama Agam, kan?" Lagi aku mengangguk, membuat rekanmu itu melanjutkan perkataannya, "Kalau begitu Dokter tahu pekerjaan kami?"

"Kurasa aku tahu," jawabku pelan. Seketika sebuah senyum terbit di wajah rekanmu itu. Tanpa persetujuan, dia menarik lenganku menuju lantai dasar rumah sakit. Langkah kami berhenti pada sebuah cafe kecil yang di sediakan khusus untuk orang yang menjaga pasien, juga pekerja rumah sakit. Cafe yang tampak sepi itu menguarkan aroma coklat dan kopi yang sangat menggiurkan. Wajar karena ini belum jam makan siang, sementara waktu sarapan sudah lewat.

"Maaf karena tiba-tiba membawa Dokter ke sini. Hanya saja saya ingin membicarakan beberapa hal." Ketegasan dalam nada suara rekanmu itu membuatku tanpa sadar mengikuti apa yang ia katakan.

"Jadi, ada apa?" Tanyaku setelah kami duduk dan memesan teh dan beberapa cemilan sebagai teman pembicaraan kali ini.

"Sebelumnya perkenalkan, nama saya Nuraga. Saya dan tim sedang menjalankan sebuah misi, ketika Agam sebagai salah satu anggota saya terluka." Rekanmu itu menghentikan ucapannya sejenak, kedua netranya menatapku dalam.

"Bisa tolong rahasiakan identitas kami?" Lanjutnya lagi. Sesaat aku mengira kedua matanya itu berwarna hitam, sampai kemudian sinar lampu membuat warna aslinya terlihat. Coklat tua yang indah.

"Kalau boleh saya bertanya, kenapa kamu meminta saya secara pribadi? Padahal saya sudah tahu pekerjaan kalian —bahkan sejak bertahun-tahun yang lalu. Tanpa kamu minta, saya tidak akan membeberkannya pada orang-orang." Rekanmu itu tersenyum tenang mendengar perkataanku. Tidak heran kalau dia menjadi ketua timmu, karena aura yang ia miliki sungguh berbeda.

"Karena ada orang yang sedang mengincar nyawa kami. Dia akan melakukan segala hal —termasuk mengancam Dokter— untuk dapat mengetahui informasi sekecil apapun." Perlahan aku meraih gelas teh yang berada di hadapanku, berusaha untuk tidak menampakan kecemasan yang tiba-tiba saja menyeruak. Rasa hangat dan aroma khas dari teh tersebut membuatku sedikit tenang.

Lihat selengkapnya