Aphelion

Clarissa Kawulur
Chapter #20

19. Mencintaimu Dengan Cara Yang Tepat

"Menurut Kak Agam, apa itu cinta?" Tanyaku, pada suatu pagi yang berkabut. Hawa dingin pegunungan membuatku merapatkan jaket tebal yang membungkus tubuh bagian atas.

Awal bulan ketujuh, berhubung sedang libur semester jadi Papa mengusulkan untuk menghabiskan waktu di daerah pegunungan. Dan coba tebak apa bagian terbaiknya.

Aku boleh mengajak teman-temanku!

Tentu saja teman-teman yang ku maksud adalah anggota divisi; dirimu, Binar, Asav, dan Cakrawala. Sejujurnya ada sedikit rasa tidak rela kalau harus membayangkan kamu berada dekat dengan Binar. Tapi, aku tidak setega itu untuk membuatmu kecewa. Jadi, begitulah sampai akhirnya kita terdampar pada sebuah vila sederhana di tengah hamparan kebun teh pada suatu pagi yang dinginnya menusuk tulang.

"Cinta?" Kamu balas bertanya. Aku mengangguk sembari kembali menggosokan kedua telapak tanganku, sedikit menyesali keputusan untuk melihat fajar tanpa persiapan yang matang.

"Cinta itu reaksi kimia ketika otak mengalami peningkatan produksi hormon seperti phenylethylamine, dopamin dan testosteron yang membuat seseorang merasa bahagia. Para ahli menduga kemampuan tubuh mengasilkan phenylethylamine hanya sekitar dua sampai empat tahun. Setelah itu rasa tertarik akan pudar jika hormon tersebut tidak bisa lagi dipenuhi otak." Aku menggeleng tidak setuju mendengar jawabanmu itu.

"Tapi Papa dan Mama sudah bersama lebih dari tujuh belas tahun dan tetap saling mencintai sampai sekarang," kataku pelan, "Para ahli itu salah."

"Menurutku, segala penjelasan ilmiah itu tidaklah salah," balasmu cepat, dan sebelum aku dapat memberikan sanggahan kamu sudah lebih dulu melanjutkan, "Cinta hanya satu dari banyak reaksi kimia yang terjadi dalam tubuh. Ketika seseorang saling mencintai lebih dari batasan yang ditentukan oleh ilmu pengetahuan, sejujurnya mereka terikat oleh suatu perasaan lain."

"Tekadang ada rasa yang memiliki ikatan lebih kuat dibandingkan cinta. Misalnya saja kenyamanan, keamanan, persahabatan; perasaan diterima, dimengerti, dibutuhkan." Sejenak kamu berhenti untuk menarik nafas. Matahari memang sudah menunjukan cahayanya, namun hawa dingin pun masih belum ingin beranjak pergi. Kamu memilih untuk menyembunyikan telapak tanganmu dalam kantung jaket sebelum melanjutkan perkataan.

"Mengapa orang-orang bercerai? Karena mereka tidak lagi merasakan cinta seperti saat-saat pertama. Disisi lain, mereka juga tidak memiliki perasaan yang memberikan mereka alasan untuk tetap bersama," katamu. Sedikit demi sedikit aku bisa memahami arah pembicaraan waktu itu.

"Jadi, ikatan karena cinta itu sejujurnya lemah?" Kamu tampak berpikir sebentar, selum kemudian mengendikan bahu.

"Bisa ya, bisa tidak. Ibaratkan saja, hubungan itu seperti air, dan cinta merupakan senyawa hidrogen. Agar bisa membentuk suatu hubungan maka diperlukan unsur lain; dalam hal ini oksigen. Bisa bayangkan jika hanya ada hidrogen tapi tidak ada oksigen? Atau jika hanya ada oksigen tapi tidak ada hidrogen?" Kamu beralih menatap mataku, membuatku merasakan lonjakan perasaan aneh yang akhir-akhir bermunculan tiap netra hitammu beradu dengan netra coklat maduku.

"Hubungan itu tidak akan terbentuk," jawabku pada akhirnya.

"Kalau pun terbentuk, suatu saat akan hancur. Karena itu, kamu bisa membangun hubungan dengan cinta, tapi itu saja tidak cukup."

Selama beberapa saat kamu membiarkan keheningan mengisi tempat di antara kita berdua. Aku sendiri memilih untuk tidak bersuara, sekalipun berbagai pertanyaan datang silih berganti tanpa aku tahu apa jawabannya.

"Ada lagi yang mau kamu diskusikan?" tanyamu kemudian. Entah sudah berapa banyak waktu yang kita habiskan berdiam diri, sampai-sampai rasa dingin yang tadi begitu menyiksa sudah terganti hawa sejuk pegunungan.

"Ada, tapi gak berhubungan dengan teori cinta yang tadi kita bahas," jawabku. Kamu mengangguk maklum, sembari membiarkanku menyusun kata-kata.

"Gak apa-apa."

Lihat selengkapnya